Total Tayangan Halaman

Rabu, 17 November 2010

Sepenggal Cerita Sehabis Keliling Sumbar-Jambi


Cerita ini dimulai dari kedatangan salah seorang teman luar negeri saya yang sangat pintar orangnya. Perempuan, muda dikit dari saya, tapi sudah mau menyelesaikan pendidikan S3 atau PhD-nya di Amerika. Namanya Hua Fangyuan. Aslinya doi orang China, tapi ngambil S3 nya itu di University of Florida… Kalau balik ke belakang lagi cerita kenapa bisa kenalan sama dia, waah… Panjang tuh ceritanya.. Bisa habis dibuat jadi telenovela tiga season… Ha ha ha…

Tapi yang jelas kami bisa kenalan dan bekerjasama seperti sekarang ini karena sama-sama menjadi peneliti di bidang ornithology. Pas dia butuh seorang tenaga lapangan untuk pengambilan data di tahun 2008, saat itulah saya ketemu dengan dia… Kalau dulu hanya menjadi asisten lapangan bagi doi, sekarang saya naik peringkat menjadi research partner alias kolaborator. Dari saling berkolaborasi inilah, kami akhirnya berhasil mendapatkan kucuran dana dari Conservation Leadership Program (CLP) dengan jumlah yang cukup jut-jutan…

Ni dia Mpok Fang, lengkapnya Fangyuan Hua
Kalau ini Pak Edi yang menyupiri mobil APV sewaan kami
Akhirnya, dengan modal kucuran dana dan semangat berkolaborasi yang kental inilah, Mpok Fangyuan kembali datang ke Sumatera untuk menyelesaikan penelitian S3-nya sekalian menyelesaikan proyek penelitian kami tersebut. Proyek penelitian yang mengambil lokasi utama di pedalaman rimba Jambi yang penuh nyamuk dan ancaman malaria.. Tepatnya berada di Hutan Harapan.. Tapi, cerita yang saya tampilkan kali ini bukan tentang pengalaman penelitian di kawasan tersebut, tapi tentang perjalanan saya keliling-keliling mulai dari Solok Selatan yang masih berada di dalam provinsi Sumatera Barat, sampai ke Sungai Penuh di Kerinci serta kawasan seputaran Taman Nasional Kerinci Seblat, Provinsi Jambi. Semua ini kami lakukan demi untuk mencari site penelitian yang benar-benar pas digunakan untuk penelitiannya si Mpok Fangyuan ini.

Mengunjungi PT. AMT di Solok Selatan, Sumatera Barat

Perjalanan yang sebenarnya dimulai dari Padang. Kami udah diskusi dengan Bapak Wilson Novarino (Ingat postingan yang lalu, beliau ni kayaknya udah jadi guru spritual saya. He he he he...) tentang site yang mungkin berpotensi untuk dilakukan uji coba pendahuluan. Dengan menumpang sebuah APV yang disopiri oleh Pak Edi, sopir langganan kami saban berjalan jauh keluar kota, maka kami berangkat menuju tujuan pertama kami, yaitu PT Andalas Merapi Timber, sebuah HPH yang berada di Kabupaten Solok Selatan. Kami udah minta ijin lisan dari kantor pusat PT. AMT ini saat berada di Padang. Ternyata, sangat mudah sekali minta ijinnya, karena HPH ini juga mengusahakan Eco label untuk setiap kayu  yang dikeluarkan dari HPH-nya. HPH ini juga mengelola sebagian dari kawasannya dalam sistem High Conservation Value Forest (HCVF). Jadi dengan sistem ini, mereka dianggap sebagai HPH yang ramah lingkungan dan bisa diganjar dengan Eco label tadi. Nah, kalo kayunya udah berlabel ramah lingkungan, bisa dengan mudah menembus pasar luar negeri, terutama Eropa dan Amerika. 
Papan penanda PT. AMT dan sistem pengelolaan kawasan berbasis HCVF
Nah, perjalanan yang dimulai dari pukul 4 sore dari Padang. Itupun setelah wara wiri mempersiapkan gono gini untuk di lapangan nanti, akhirnya kami berangkat juga. Melewati jalan yang berlika liku,mendaki dan menurun, mulus atau kasar. Kebetulan saat mulai memasuki kawasan Muara Labuh yang notabene sudah berada di dalam lingkup Solok Selatan, listrik kayaknya padam. Sehingga kami agak kesulitan juga untuk melihat sana-sini menemukan petunjuk untuk perjalanan. Akhirnya, sekitar pukul setengah Sembilan malam sampai juga di Padang Aro yang menjadi ibukota dari Solok Selatan. Di sini kami sudah janjian dengan salah seorang alumni Jurusan Biologi, Dedi Julia namanya, yang kebetulan sudah menjadi PNS di SolSel ini. Kami nginap semalam di rumahnya. Lebih detailnya, saya bersama Pak Edi yang cowok di tempatnya Dedi, sedangkan Mpok Fangyuan yang cewek diinapkan di tempat temannya Dedi yang juga cewek. Sebenarnya nginap di tempat Dedi ini juga bukan kebetulan begitu saja. Dedi yang kerja sebagai PNS di Kantor Lingkungan Hidup Solok Selatan punya kontak di PT. AMT dan juga tau dimana lokasi HPH ini. Di sinilah saya sebenarnya mau bilang bahwa kerja jadi dosen itu enak… Setelah menghasilkan alumni yang nantinya kerja di mana-mana, kita jadi enak kalau mau pergi kemanapun. Bisa dapat sedikit fasilitas dari para alumni yang rata-rata bekerja di posisi strategis. Bukan KKN, tapi yaaaa… mungkin KKN yang positifnya lah..

Hari Rabu paginya, dengan diantar Dedi, kami masuk ke kawasan AMT yang terletak jauh ke dalam kawasan hutan di Padang Aro tersebut. Sekitar 10 kilometer, dengan jalan yang rata-rata terdiri dari material batu koral yang diambil dari kawasan sekitarnya. Terhitung ada dua sungai besar di sepanjang ruas jalan penghubung PT. AMT dengan Padang Aro. Sayang sekali, badan sungai serta habitat di sekitarnya sudah sangat rusak sekali akibat ditambang secara liar oleh Penambang Emas Tanpa Izin (PETI). Beberapa tanjakan nyaris membuat saya berpikir bahwa APV yang disewa tersebut gak bakal bisa jalan lagi. Apalagi bebatuan material jalannya berguguran dan membuat jalan jadi sedikit selip. Tapi untunglah Pak Edi yang udah kami kenal kemampuannya tersebut dapat mengendalikan mobil dengan baik. Di beberapa ruas jalan, kami menemui papan peringatan bahwa pada bagian tersebut bersinggungan dengan perlintasan hewan. Ini sebagai bentuk amalan dari pengelolaan berbasis HCVF tadi. Hewannya juga gak tanggung-tanggung: Harimau dan beruang madu!! Akhirnya setelah satu jam perjalanan, kami sampai di camp risetnya PT. AMT dengan selamat. 
Salah satu PETI di sekitar jalur Padang Aro-PT. AMT
Awas ada Harimau!!
Yang ini awas ada beruang!! Teteup menakutkan

Kami dipertemukan oleh Dedi dengan beberapa orang staf yang kebetulan berada di sana. Tapi sayangnya, manejer lapangan yang bertanggung jawab untuk camp tersebut lagi berada di luar. Untunglah, Pak Agus yang bicara dengan kami tersebut sangat baik orangnya. Kami dipersilahkan  untuk ngaso dulu di kantin sambil makan apa yang ada dan membuat minuman sendiri.  Setelah makan, Dedi pamit untuk kembali ke Padang Aro.  Kami tetap tinggal di dalam camp, sambil menunggu manejer camp kembali.
Saya dan Mpok Fang memutuskan sambil menunggu mungkin lebih baik untuk mencoba melakukan percobaan mobbing di beberapa lokasi yang kebetulan ada. Kami ditemani oleh dua orang staff lapangan di camp riset tersebut. Satu namanya Mulyadi, satu lagi Anto. Keduanya masih muda, mungkin sepantaran dengan lulusan SMU. Nampaknya kedua orang guide kami ini cukup komunikatif, bahkan cenderung suka becanda. Dengan demikian kami jadi enjoy di lapangan. 

Tim Lapangan di AMT. Saya sebelah kiri, tengah Mulyadi, kanan Anto
Namun walaupun suasana yang didapatkan cukup enjoy, tapi sayangnya pas Mpok Fang mencoba melakukan mobbing eksperimennya, ternyata tidak ada burung setempat yang merasa tertarik dengan suara Glaucidium brodiei tersebut. Lantunan suara panggilan yang disebarkan dari speaker portabel yang diletakkan dekat dengan figuran Glaucidium pun tak mampu memanggil mereka untuk datang. Akhirnya dengan sedikit kecewa, kami turun kembali ke camp untuk makan siang. 

Mr. Owlet, sang figuran Glaucidium brodiei (Collared Owlet). Digunakan dalam percobaan mobbing-nya Mpok Fangyuan
Sehabis makan siang, manejer lapangan camp riset AMT ini datang bersama dengan beberapa orang staff dapur yang pergi keluar ke Padang Aro untuk  belanja kebutuhan dapur. Juga beberapa orang mahasiswa dari Universitas Bengkulu yang kebetulan melakukan internship di AMT ini juga datang. Jian dan Al kalau tidak salah namanya. Kami berkenalan dan suasana yang akrab pun terjalin dengan cepat. Karena manejer lapangan sudah datang, maka info tentang kawasan tersebut kami minta, terutama peta kawasan HPH dan sejarah logging yang dilakukan pada kawasan tersebut. Dengan adanya data tersebut, Mpok Fang dapat melakukan overlay secara manual untuk menentukan block logging yang mempunyai ketinggian di atas 800 m dan mempunyai sejarah pengambilan kayu di sana. Di samping itu, ternyata AMT juga menyisakan sebagian dari kawasannya untuk kepentingan tertentu dalam keadaan utuh alias masih primer. Kemungkinan pengambilan data penelitian si Mpok juga bisa dilakukan sebagian di sini. Oya, selama melakukan percobaan mobbing tadi, saya juga berhasil mengabadikan beberapa jenis burung yang kebetulan tertangkap dengan lensa makro yang saya bawa... Cekidot aja hasilnya di bawah ini...

Red-billed Malkoha Phaenicophaeus javanicus

Dark-throated Oriole Oriolus xanthonotus
Velvet-fronted Nuthatch Sitta frontalis
 Karena waktu di sore harinya dihabiskan dengan melakukan analisa kawasan berdasarkan peta dan data yang didapat dari menejer di sini, kami tidak jadi ke lapangan untuk melakukan mobbing lagi. Hanya memasang dua buah net di sekitar lokasi camp dengan harapan dapat menjaring satu atau dua jenis burung yang akan direkam suaranya nanti oleh si Mpok. Ternyata sampai sore habis dan malam menjelang, tidak ada yang nyangkut. Maka net ditutup dengan sedikit gundah. Huuuuhhh… Tapi walaupun demikian, kami sudah berhasil menentukan beberapa lokasi ideal pengambilan data di masa yang akan datang. Kami juga sudah memutuskan untuk mengunjungi salah satu lokasi tersebut untuk melakukan analisa awal.

Malamnya, camp diterangi dengan lampu dan listrik yang dihidupkan dari genset yang ada di kantor AMT. kesempatan itu kami gunakan untuk mengisi baterai beberapa alat elektronik yang kami bawa. Sekalian juga bisa nonton televisi melalui antenna satelit. Beberapa orang malah nonton film dari VCD player yang ada di sana. Untunglah menjelang jam 10, ketika genset sudah dimatikan, semua alat berbasis rechargeable battery milik kami sudah terisi penuh. Jadi, malam pun bisa dihabiskan dengan tidur tenang, karena kondisi  yang sudah sangat capek sehabis melakukan berbagai kegiatan di siang harinya. Oh ya, malam itu juga gak sengaja ngeliat salah satu penghuni camp yang sering keluar malam-malam gitu.. Si Bufo asper... Cakep juga doi kalo difoto..
Asian Giant Toad Bufo asper

Besoknya, rencana untuk mengunjungi salah satu block bekas logging AMT terpaksa kami batalkan secara sepihak, karena hujan yang turun disertai dengan kabut tebal yang membalut kawasan AMT membuat kami tidak mungkin untuk turun ke lapangan mengambil data. Semua pasti sudah tahu kalau burung-burung lebih suka berdiam diri daripada keluar mencari makan di kondisi cuaca yang seperti ini. Mpok Fang pun dengan manyun bilang pada saya bahwa kemungkinan rencana kembali diubah dengan langsung keluar dari camp AMT dan menuju ke Sungai Penuh untuk mencari informasi tentang beberapa kawasan lain yang ada di TN Kerinci Seblat.

Setelah packing barang-barang bawaan, kami pamit dan langsung meluncur menuju ke Sungai Penuh. Tujuan kami di sana adalah bertemu dengan beberapa orang kontak dari LSM Lembaga Tumbuh Alami serta beberapa orang di Balai Besar TN Kerinci Seblat.

Pengamatan burung dan Mobbing Experiment di Gunung Kerinci  
Di Balai Besar TN Kerinci Seblat tidak banyak data yang bisa kami peroleh. Kebetulan, semua staff lapangannya lagi ikut pemantauan harimau di lapangan. Kepala Balainya pun tidak begitu tahu banyak tentang site dan habitat yang ada di dalam kawasan TN. Kamipun selanjutnya menuju ke LSM LTA untuk mencari informasi tambahan. Di sini, beberapa orang staff nya memberikan kami informasi yang kurang lebih sama dengan informasi yang sudah kami ketahui sebelumnya. Tapi ada beberapa orang kontak yang kami dapatkan untuk mencari data tambahan nantinya. Kami juga disarankan untuk mengunjungi rumah Pak Subandi di Kerisik Tuo. Kawasan ini sebenarnya sudah kami lewati dalam perjalanan Padang Aro-Sungai Penuh, sehingga kami harus balik lagi ke arah Padang Aro.
Patung Tugu Macan, tanda homestay Subandi sudah dekat
Selepas siang, kami sampai di Kerisik Tuo. Penanda rumah Pak Subandi yang juga dijadikan sebagai homestay bagi para pengamat burung di Gunung Kerinci adalah sebuah tugu dengan patung macan yang berdiri menantang ke arah jalan (kalau saya menjadi kepala daerah setempat, tugu ini akan saya ganti dengan tugu "Trio Macan"). Dari tugu ini, tinggal tanya saja sama orang-orang yang ada di sana di mana rumah Pak Subandi ini. Gampang menemukannya, karena letaknya yang di pinggir jalan dan ada plang yang menyatakan tempat tersebut sebuah homestay. Tempat ini biasanya pada bulan Juli-Agustus tiap tahunnya selalu ramai digunakan oleh orang asing yang ingin melakukan pengamatan burung endemic khas gunung Kerinci. 
Homestay Subandi, akomodasi rumahan murah meriah
Kaca rumah homestay Subandi yang penuh stiker para pengamat burung
Di tempat ini kami disambut langsung oleh tuan rumah, Pak Subandi. Beliau cukup bisa berbahasa Inggris, sehingga Mpok Fang bisa lebih mudah berkomunikasi langsung dengannya. Sebenarnya ada sekitar enam homestay lain di kawasan ini, tapi cuma homestay Pak Subandi ini yang menyediakan jasa pemanduan untuk melihat burung endemic Kerinci. Bahkan saking  terkenalnya, tempat ini sudah dimasukkan ke dalam salah satu tujuan Birdtour Asia. Hal ini juga kalau dilihat dari buku tamu yang disodorkan Pak Subandi. Banyak tamu asing yang menuliskan kesan-kesan mereka selama menginap, serta tidak lupa menceritakan pengalaman pertemuannya dengan berbagai jenis burung unik Gunung Kerinci.

Setelah berdiskusi dengan Pak Subandi, kami menurunkan barang-barang bawaan dan membawa ke kamar yang memang disediakan untuk disewakan. Terlihat di sini bahwa beliau sekeluarga memang sudah biasa menerima tamu di rumahnya. Contoh yang bagus buat dikembangkan di tempat lain yang punya potensi sama. Malamnya kami tidak makan di tempat Pak Subandi, tapi nyari rumah makan di dekat pasar KersikTuo yang masih buka. Ternyata rumah makan dengan masakan rumahan tersebut cukup enak dan murah meriah… Mungkin bisa jadi rujukan jika nanti ada lagi datang ke tempat ini.

Besoknya, kami bangun pagi-pagi… Udara sangat sangat sangat dingin.. Tapi berkat mandi pada malam sebelumnya, cukup membuat kami terbiasa.. setelah persiapan dengan alat-alat untuk deteksi mobbing, juga setelah istri Pak Bandi selesai membuatkan bekal makan pagi, kami berangkat menuju ke dalam, ke arah gunung Kerinci nya.. Pemandangan sepanjang kebun teh yang terhampar hijau sangat menyegarkan.. setelah beberapa saat, pemandangan berganti dengan keberadaan tanaman sayur mayur dataran tinggi dan tanaman tahunan penduduk… Sepanjang perjalanan, tidak henti-hentinya saya mengabadikan keindahan gunung Kerinci yang “seksi” ini. Kebetulan sekali, pagi itu udara cukup cerah dan Gunung Kerinci pun sama sekali bening, bersih dari tutupan kabut dan awan. Momen yang jarang untuk ditemui di tengah musim hujan yang terus melanda.
Gunung Kerinci yang "seksi". Hamparan padang teh menambah pesonanya
Kebun kol di kaki Gunung Kerinci. Kalo beli sayur di sini, murah meriah.

Cukup jauh juga perjalanan ini, sekitar 5 km dari jalan utama penghubung Padang Aro-Sungai Penuh.. Apalagi kalau ditempuh pake jalan kaki… He he he… Pas sampai akhirnya di dekat sebuah bekas papan reklame baliho yang tak lagi dipakai, karena papannya yang dari besi dah berkarat dan roboh sebagian.. Di sana, mobil travel sewaan kami tidak bisa masuk lagi. Artinya, kami harus melanjutkan dengan berjalan kaki.. Semua keperluan penelitian diturunkan dan disandang. Saya juga mengganti lensa kamera dengan lensa tele yang bisa dipakai untuk jarak jauh.. Okeee.. dengan demikian, kami siap tempur…
Siap menemukan jenis eksotis Gunung Kerinci. Pak Subandi yang sebelah kiri
Gerbang gunung, sebelum masuk ke pintu hutan pegunungan

Setelah berjalan kurang lebih sekiloan, kami mencoba eksperimen mobbing-nya Mpok Fang… Seperangkat alat pengeras suara, dihubungkan dengan kabel extension ke iPod-nya si Mpok sehingga dapat distel dari jauh untuk memainkan suara Glaucidium brodiei. Untuk lebih meyakinkan para burung-burung kecil yang terpancing oleh suara tersebut, maka dipasang figure burung hantu imut ini di dekat speaker diletakkan. Figure ini dibuat dari burung G. brodiei asli yang diisi dengan kapas dan diberikan kawat pada bagian kakinya sehingga bisa diberdirikan di ranting atau dahan pohon sedemikian rupa menyerupai burung hantu asli yang masih hidup. Figure burung hantu ini dibuat dari industri rumahan yang ada di China. Dipesan langsung oleh si Mpok demi kesuksesan penelitiannya. 

Kata si Mpok tentang settingan eksperimennya begini, “Ketika para burung-burung kecil yang terdiri dari berbagai jenis ini mendengar suara Glaucidium dan merasa terganggu dengan itu, mereka biasanya akan mencari sumber suara tersebut. Jika kita menambahkan figure tersebut di sekitar kita meletakan speaker, maka para burung tersebut akan merasa yakin dengan keberadaan Glaucidium tersebut dan akan melakukan tindakan mobbing dengan berusaha terbang mengelilingi si figure ini, mengganggunya supaya bingung dan gagal memangsa mereka.” Oke deh Mbak.. Mari kita coba..

Setting percobaan sudah siap, kemudian kami bagi tugas.. Si Mpok megang handicam (lebih tepatnya berdiri di belakang handicam yang diletakkan di atas tripod—belakangan si Mpok bingung nge-translate arti tripod ini, apa tripod aja langsung, ato dijadiin transliterasi harfiah “tiga kaki”). Diriku megang kamera berlensa makro. Pak Subandi menjadi tim taktis. Kami semua harus berupaya mengidentifikasi jenis-jenis burung yang terpancing oleh bunyi suara si Glaucidium tadi.

Tombol “ON” ditekan. “Pup… Pup-pup.” Tiga kosakata konstan yang diulang-ulang selama sepuluh menit. Terbukti, nada ini sangat "sakti". Langsung saja beberapa individu burung mampir ke kisaran radius 10 meter dari sekitar speaker dan figure Glaucidium nampang. Wuiih.. Rame.. Sumpah idup, fenomena mobbing ini memang sangat menakjubkan untuk disaksikan.. Berbagai jenis, mulai dari Stachyris nigriceps, S. striolata, S. chrysaea, Pycnonotus leucogrammicus, P. cyaniventris, Eumyias indigo, Seicercus montis, S. grammiceps, Culicicapa ceylonensis, Niltava sumatrana, Phylloscopus trivirgatus, P. borealis, Orthotomus cuculatus, Muscicapa dauurica, Rhipidura albicollis, Aethopyga siparaja dan Arachnothera longirostra. Semuanya wara wiri di depan si figuran Glaucidium tadi, berusaha memberikan perlawanan layaknya menghadapi burung hantu asli yang memang hidup. Di saat itu semuanya sibuk ber-mobbing ria, sangat mudah sekali mendekati dan mengambil foto mereka semua. Jadi kepikiran juga saat itu, bagaimana kalau menggabungkan metoda mobbing ini dengan metoda mistnetting. Tapi pastinya perlu pertimbangan lebih lanjut untuk itu. Ya udah, untuk sementara, dapat foto-foto dari berbagai jenis burung kecil yang cantik ini juga tidak kurang bahagianya..
Indigo Flycatcher Eumyias indigo
Jenis Flycatcher lain, kemungkinan Asian  Brown Flycatcher Muscicapa dauurica
Rufous-vented Niltava Niltava sumatrana jantan
Cream-striped Bulbul Pycnonotus leucogrammicus. Jenis endemik pegunungan Sumatera yang sering mobbing dengan garang
White-throated Fantail Rhipidura albicollis. Juga sering terlihat mobbing
Yellow-breasted Warbler Seicercus montis. Imut dan lucu...

Pagi itu kami hanya berhasil melakukan dua kali mobbing experiment, karena menjelang pukul sebelas siang, hujan gerimis yang terus berubah menjadi hujan lebat membuat kami harus berteduh di bawah camp semi permanen yang memang sengaja disiapkan untuk tempat berteduh para pendaki gunung yang melewati jalur Kersik Tuo ini. Karena lama hujannya tidak berhenti, kami membuat api unggun di bawah tudungan camp semi permanen ini. Juga diteruskan dengan menikmati bekal makan siang yang dibawa oleh Pak Subandi, ditemani dengan teh dan kopi hangat.. Wuuuih… Sedap nian.. Emang pantas kalau Homestay dan Jasa Birdwatching yang disediakan sama Pak Subandi ini jadi salah satu agenda para wisatawan yang datang ke daerah Kerinci ini. 
Lewat sedikit dari tengah hari, hujan mereda. Kami memutuskan untuk mencoba beberapa kali lagi mobbing ini. Jadi, perjalanan ke arah pendakian yang lebih tinggi dilanjutkan. Akhirnya pada point yang kira-kira berjarak 500 meter dari lokasi camp pendaki tadi kami kembali memasang setting mobbing experiment. Cuma sayangnya, setelah 10 menit memutar suara pemancing, tidak ada burung-burung kecil yang mendekat. Si Mpok berkesimpulan bahwa kemungkinan besar hujan tadi telah membuat para burung lebih memilih untuk berdiam di sarang atau tempat bermalamnya daripada sibuk mikiran burung hantu iseng yang bunyi-bunyi gak karuan. Oke deh.. Dengan demikian, kami memutuskan hengkang kembali ke homestay. Tujuan utama untuk mencoba melakukan mobbing experiment berhasil dilakukan dengan baik. Di samping dapat dengan leluasa memotret burung-burung yang terpancing emosinya dalam percobaan ini, kamera Nikon SLR D60 ini juga berhasil mengabadikan beberapa burung lain yang dengan jinak-jinak Bombay berseliweran di sepanjang trail pendakian.. Ditambah dengan jenis-jenis yang sudah disebutkan di atas, ada lagi Myophonus melanurusMacropygia unchall dan Parus major serta beberapa jenis lain yang agak sulit diidentifikasi saat di lapangan. Asyiiikk…
Shiny Whistling-thrush Myophonus melanurus
Great Tit Parus major yang jarang terlihat dan sukar terfoto
Barred Cuckoo-dove Macropygia unchall. Untung pake lensa tele, jadi bisa di-zoom dan terlihat baik
Kalau yang ini saya kurang tau apa jenisnya. Kemungkinan sejenis Wren Babler atau jenis semak lainnya

Dalam perjalan pulang, kami mengabadikan lagi beberapa momen berharga di sepanjang jalur menurun. Walaupun pendakian ini tidak sampai ke puncak Kerinci, karena adanya larangan untuk mendaki gunung tertinggi di Sumatera yang saat itu tengah berada dalam status Waspada II tersebut, juga karena bukan itu tujuan utamanya, tapi kami—terutama saya—merasa sangat puas sekali. Mudah-mudahan saat projek penelitian kami ini selesai, kami bisa mendaki gunung nan “seksi” ini lagi nanti.

Petualangan di sisi selatan Taman Nasional Kerinci Seblat

Dua hari sudah kami menginap di tempat Pak Subandi dengan segala bentuk keramahan ala Homestay tersebut, akhirnya kami meneruskan perjalanan kembali ke beberapa lokasi lain yang ada dalam daftar “lokasi penelitian potensial”-nya Mpok Fang. Sabtu pagi, setelah menyantap makan pagi dan membayar semua biaya penginapan, makan dan jasa birdwatching, kami menuju ke arah Sungai Penuh kembali. Kemudian berbelok ke arah barat dari kota tersebut menuju ke Tapan, Sumatera Barat. Sebenarnya bukan menuju ke kota tersebut, tapi kami berniat untuk melawat ke beberapa titik di sepanjang sisi selatan TN Kerinci Seblat. Dengan berbekal GPS yang cukup update dengan satelit nun di atas sana, Mpok Fang memantau ketinggian tempat yang dilalui. Karena perjalanan dari Sungai Penuh ke Tapan merupakan perjalanan menurun, jadi kami menuju ke titik terendah terlebih dahulu, sebelum nanti kembali ke arah semula menuju Sungai Penuh lagi.
Menjelang perbatasan kawasan hutan rakyat (yang sudah beralih fungsi dari hutan menjadi perladangan yang terbuka) dengan kawasan TN, kami disuguhi pemandangan yang sangat aduhai yang sering membuat si Mpok Fang berdecak kagum. He he he.. Gini-gini, saya jadi bangga juga negeri kita yang sekarang morat marit akibat berbagai bencana dan kehidupan politik yang juga gak kalah semrawut nya dikagumi oleh banyak orang luar negeri.. Hhhhhh…..
Hutan primer TNKS bagian selatan. Masih ijo royo-royo. Seger-seger....
Setelah melewati gerbang perbatasan TN yang ditandai dengan gapura berlambang PHKA (sebatang pohon yang saya juga kurang tau apa jenisnya) dan dijaga oleh seekor harimau (patungnya doing, dengan keadaan yang agak memprihatinkan—ekor retak, telinga dua-duanya ilang, dan proporsi tubuh yang agak kurang seimbang), kami lebih berdecak lagi, karena hutan yang makin lebat melebihi lebatnya ketek actor-aktor Hindustan di film-film Bollywood. Khu khu khu.. Untung saja bagian hutan yang ini dilindungi oleh Undang-undang sebagai kawasan Taman Nasional. Kalau tidak, tentu kapak dan chainsaw para penebang kayu illegal udah lama membabat kawasan ini. Hembusan angin semilir yang masuk lewat bukaan kaca mobil pun meniupkan udara yang teramat segar. Gak bayar. Bisa dihirup sepuas-puasnya dan sesukanya, semampunya.. Hmmmmmmmmmmmm….
Simbiosis unik semut dan tumbuhan inangnya yang mengembangkan bulb khusus di setiap cabangnya. Keunikan yang dapat ditemukan di hutan kawasan TNKS
GPS si Mpok pun akhirnya menunjukkan angka 800an meter lebih dikit. Pertanda kami udah harus mencari sisi tebing bebukitan TN yang bisa dijelajahi untuk menguji kembali ke-mobbing-an para burung-burung kecil yang ada di sini. Ide praktis yang muncul adalah mencari anak-anak sungai yang mengalir, karena biasanya di sepanjang aliran tersebut ada jalur yang tidak ditumbuhi oleh vegetasi hutan ini. Oke, si Mpok setuju wae.. Kami berdua sekarang yang turun ke lapangan (atau lebih tepatnya naik ya? Kan kita mendaki lereng bebukitan di sini). Pak Edi sang supir menunggui mobil..

Di lokasi pertama yang berketinggian sekitar 860an meter ini, kami memasang semua perangkat keras dan lunak percobaan mobbing si Mpok. Tapi sayang sungguh disayang, usaha keras kami untuk mendaki tebing lereng perbukitan ini, sampai-sampai pinggul saya dihinggapi pacet nakal, cemong-cemong semua tubuh karena bergelimang dengan lumpur dan tanah, tidak membuahkan hasil. Tidak ada burung yang bereaksi dengan rangsangan mobbing yang kami berikan. Juga kehadiran Mr. Owlet, nama yang kami berikan pada figuran Glaucidium ini, yang berdiri gagah di dekat speaker yang terus meneruskan melantunkan melodi “Pu.. Pu-pu” selama 10 menitan tersebut tidak mampu meningkatkan rangsangan ber-mobbing ria bagi para burung-burung kecil tersebut. Hhhhh…

Di sekitar lokasi ini kami temukan bekas pondok para penebang kayu ilegal.. Waahh, jadi geram juga mengetahui di dalam kawasan yang seharusnya dilindungi untuk kepentingan bersama ini masih ada orang-orang yang masih nekad mencuri kayu.. Dengan alasan apapun... Duh, mudah-mudahan mereka disadarkan bahwa merusak hutan sangat tidak baik untuk dilakukan...
Pondok pembalak liar di dalam kawasan TNKS bagian Tapan

Kami turun kembali ke mobil dengan sedikit gontai. Mobil dijalankan kembali ke arah Sungai Penuh, berhenti pada saat GPS menunjukan angka ketinggian tempat sekitar 900 meter dari permukaan laut. Di sini sungai yang kami susuri untuk meletakan settingan percobaan mobbing cukup besar dan datar. Pada percobaan kedua ini, dua ekor Pycnonotus leucogrammicus Nampak bereaksi. Tidak seheboh seperti di Gunung Kerinci, tapi cukup mengisyaratkan bahwa kemungkinan Glaucidium brodiei mulai ada dari ketinggian ini. Percobaan selanjutnya di ketinggian sekitar 1000an meter kembali tidak membuahkan hasil. Akhirnya kami memutuskan untuk makan siang dulu, sebelum kembali ke Sungai Penuh. Makan siang di tugu perbatasan TN yang ada patung macan itu, dengan bekal yang sudah dibeli sebelum berangkat tadi pagi. Sehabis makan, kami memutuskan untuk melihat satu site lagi, yang berada di Ranah Kayu Embun. Jaraknya kira-kira 10 km dari pusat kota Sungai Penuh.
Berfoto di patung harimau dekat gerbang TNKS Sungai Penuh-Tapan
Di sini hanya kekecewaan yang kami temui. Hutan yang ada di sepanjang barisan perbukitan tersebut sudah sangat terfragmentasi dan tidak primer lagi. Di samping itu, pekerjaan pelebaran jalan menuju ke Puncak Khayangan yang menjadi lokasi kongkow muda-mudi sambil melihat pemandangan kota, gunung dan danau Kerinci sangat mengganggu kelancaran perjalanan. Kami juga tidak bisa sampai ke batas hutan yang dimaksudkan, karena pada kilometer kesekian, bulldozer yang menghambat di tengah jalan masih berusaha memindahkan segundukan tanah yang rasanya tidak akan selesai dalam sejam dua jam ini dipindahkan. Udahlah, kami balik lagi ke Sungai Penuh. Memutuskan untuk beristirahat di kota ini, sebelum melanjutkan perjalanan besok paginya menuju ke Padang Aro untuk masuk kembali ke kawasan PT. AMT dan melanjutkan percobaan mobbing di beberapa block logging yang sebelumnya tidak sempat kami lakukan… 

AMT Tahap Dua

Kami masuk ke kawasan AMT pada keesokan harinya. Melewati kembali jalanan berbatu sejauh 10 kilometer dari pusat kota Padang Aro. Kembali disambut di camp riset dengan orang-orang yang sama. Kali ini ditambah dengan salah seorang manejer bagian konservasi, Pak Sigit namanya. Orangnya masih muda, sekitar 40 tahunan. Dia lulusan kehutanan IPB Bogor. Cukup senang juga ngobrol dengannya, karena mengetahui hal-hal penting tentang kawasan AMT yang kami perlukan. 


Sesuai dengan yang sudah kami rencanakan dahulu, kami ingin mencoba mengetes kembali beberapa block bekas logging yang berada di KM 19 kawasan HPH tersebut. Pak Sigit pun mengijinkan kami untuk menggunakan mobil jip hardtop doubel gardan milik perusahaan. Dengan itulah kami menyusuri jalanan logging dengan lebih leluasa, karena lebih tangguh. Sesekali harus menepi, bila bertemu dengan truk loader yang membawa kayu log. Truk-truk ini biasanya gak mau ngalah, maklum beban berat yang dibawanya tidak memungkinkan untuk berlama-lama berdiri di jalanan yang konturnya menanjak dan menurun dengan tajam tersebut.  Eh, di sebuah sungai besar yang kebetulan kami lintasi, ternyata banyak juga usaha penambangan emas liar yang dilakukan oleh penduduk secara tradisional. Duuh, gimana sih ini...

Truk loader. Yang lain harus minggir. Bos lewat..
PETI di dalam kawasan AMT


Akhirnya kami sampai di KM 19. Kami ditemani Anto dan Teti. Teti ini kerja di bagian sosial camp AMT. Masih muda juga. Seturun dari jip hardtop yang mengantar, kami segera berjalan mendaki jalan bekas logging dengan kontur jalanan yang langsung terjal. Sejauh kurang lebih 1 km berjalan mendaki (dan ngos-ngosan tentunya), kami mulai masuk ke dalam hutannya. Kemudian mencari tempat yang bagus untuk kembali mencoba memasang Mr. Owlet dan perangkat mobbing. Pada tempat dengan ketinggian 800 m, tidak ada yang mendekati Mr. Owlet, walaupun suara "Pu..Pu-pu" diputar selama lebih dari lima menit...

Menyusuri jalan bekas logging di KM19

Si Mpok pun mengajak kami untuk pindah ke tempat yang lebih tinggi lagi. Jadi, harus ngos-ngosan lagi mendaki setinggi 100 m untuk mencapai ketinggian ideal tersebut. Di sini, kami memasang kembali si Burung Hantu imut.. Dan ternyata, berhasil... Ada tiga jenis yang mendekat. Chloropsis cochinchinensis, Aethopyga temminckii dan Anthreptes simplex. Walaupun tidak sehisteris jenis-jenis yang mobbing di Gunung Kerinci, tapi dua jenis yang pertama cukup aktif di menit-menit pertengahan sampai akhir pemutaran suara. Satu jenis lagi, Pycnonotus cyaniventris datang agak telat setelah suara Mr. Owlet berlalu. Tapi gak apa, yang penting saya dapat beberapa pose yang cukup bagus. Juga ketika mau melanjutkan berjalan ke ketinggian selanjutnya, kami mengamati beberapa ekor Iole olivacea lagi mandi di sungai kecil yang mengalir di tebing bukit... Jepretan pun dilayangkan untuk mengabadikannya.. Wuiihhhh....
Temminck's Sunbird Aethopyga temminckii
Blue-winged Leafbird Chloropsis cochinchinensis
Grey-bellied Bulbul Pycnonotus cyaniventris lagi makan buah berry liar
Buff-vented Bulbul Iole olivacea baru saja mandi...

Sampai akhir hari itu, kami hanya bisa mencapai ketinggian 1050 meter saja. Di ketinggian itu ketemu satu jenis lagi yang juga melakukan mobbing. Dua individu Brinji Kelabu Hypsipetes flavala terlihat cukup termotivasi untuk melakukan mobbing dengan suara si Mr. Owlet.. Tapi tidak begitu agresif. Hanya berkeliling di bagian kanopi, jauh di atas figuran Mr. Owlet. Jenis inilah yang menutup sore kami sebelum kembali ke camp lagi. Ndongkreng dengan jip hardtop-nya AMT tentunya... 
Ashy Bulbul Hypsipetes flavala


Malam itu, camp sunyi senyap, karena genset yang rusak dan belum diperbaiki. Bayangkan saja, tiga buah genset yang ada di sana, termasuk satu genset besar yang bisa dipakai dari sore sampai pagi lagi, rusak... Kami sih gak apa-apa gelap-gelapan begitu.. Tapi kan sayang juga barang udah dibeli mahal-mahal gak kepake.. Mungkin kalau kita nanti jadi meneliti di sana, semua genset yang ada sudah kembali berfungsi...


Besok paginya, kembali kami bersiap-siap untuk ke lapangan. Rencana awal untuk mengunjungi blok lain yang kemungkinan masih mempunyai hutan primer. Tapi karena Pak Sigit bilang kalau untuk mengunjungi lokasi yang dimaksud tersebut butuh persiapan yang lebih matang serta kemungkinan akan bermalam, membuat kami mengurungkan niat ke blok yang dimaksud. Walhasil, kami kembali mengunjungi blok di sekitar KM19. Cuma kali ini sedikit mengambil lokasi yang lebih memutar dan dengan ketinggian yang lebih dari yang kemaren. Selain Anto, yang menemani kami sekarang ditambah dengan dua orang mahasiswa internship yang magang di bawah pengawasan Pak Sigit..


Sampai dengan ketinggian 1000 meter lebih, tidak ada jenis burung yang benar-benar terpanggil untuk melakukan mobbing dengan suara Mr. Owlet. Kami terus menyusuri bekas jalur logging yang sudah ditumbuhi pohon-pohon sekunder. Katanya, jalur ini dulunya dipakai oleh tim dari Fauna dan Flora International (FFI) yang melakukan survey kekayaan jenis hewan mamalia dengan menggunakan camera trap.. Jalur tersebut akhirnya menuju ke salah satu puncak bukit. Di sanalah mobbing experiment terakhir kami lakukan. Dan hanya satu jenis yang datang, itupun pada menit-menit terakhir playback dilakukan. Jenisnya adalah Cikrak kutub (Phylloscopus borealis). 
Arctic Warbler Phylloscopus borealis peserta mobbing paling terakhir


Setelah makan siang, plus dengan cerita-cerita tentang berbagai hal seputar camp dan orang-orang AMT dengan Anto, Jian dan Al, kamipun kembali menuju tepi jalan, menunggu jemputan. Tapi saya dan si Mpok duluan pulang, naik truk loader yang kebetulan lewat. Hanya dua orang yang bisa naik ke ruang kemudi truk, karena sudah ada sopir dan keneknya. Sedangkan untuk naik ke bagian belakang yang diperuntukan untuk kayu log hasil tebangan, tidak diperbolehkan... Hhhhhhhh... Itulah pengalaman pertama saya menaiki truk sebegitu besar... Menegangkan, sekaligus menyesakkan, karena udara yang panas, truk yang berjalan dengan lambat menaiki dan menuruni jalan perbukitan yang terjal serta keadaan kami berjejalan di dalam ruang kemudi yang cukup sempit... Tapi, menurut saya dan si Mpok, ini tetap pengalaman yang sangat mengasyikan... 


Sesampai di camp, kami pun beristirahat sejenak sebelum mandi dan bersih-bersih serta packing barang-barang kami. Hari itu juga kami akan kembali menuju ke Padang. Setelah berfoto bareng dengan beberapa orang staf AMT dan mahasiswa internship di sana, kamipun berangkat. Sudah cukup seminggu kami berkelana ke sana ke mari, mencari pengalaman dan ilmu pengetahuan, berjumpa dengan banyak orang serta tentunya mengamati salah satu ciptaan Tuhan yang sangat menakjubkan: BURUNG...
Foto bareng dulu sebelum kembali ke Padang Kota Tercinta

1 komentar:

  1. Damai sejahtera bagi Anda semua, saya mrs. Puspita Ismaya dari Balikpapan di Indonesia. Saya sangat senang karena saya mendapat pinjaman dari Perusahaan Pinjaman Rika Anderson.

    Saya tidak pernah percaya bahwa saya bisa mendapatkan kredit online, semua pujian ditujukan kepada Yang Mahakuasa, saya mendapat kredit sebesar Rp80.000.000 beberapa hari lalu dari ibu dari CEO RIKA ANDERSON LOAN COMPANY.

    Saya harap Tuhan banyak dari mereka semua, saran saya bagi mereka yang mencari kredit internet harus sangat berhati-hati karena ada pemberi pinjaman, silakan hubungi RIKA ANDERSON INVESTMENT email rikaandersonloancompany@gmail.com. Whatsapp +1(929)526-0086 Anda juga dapat menghubungi saya di puspitanismaya@gmail.com

    KESAKSIAN: Puspita Ismaya
    NEGARA: Balikpapan di Indonesia
    PINJAMAN: Rp80.000.000
    puspitanismaya@gmail.com

    PERUSAHAAN PINJAMAN RIKA ANDERSON
    Situs web: www.rikaandersonloancompany.webs.com
    email: rikaandersonloancompany@gmail.com
    Panggilan Langsung/Whatsapp: +1(929)526-0086
    Layanan Pelanggan Whatsapp: +1 916 448 1012

    BalasHapus