Total Tayangan Halaman

Selasa, 25 Oktober 2011

Systematic and Macro-evolution

Ini adalah mata kuliah yang kuambil dalam semester pertama perkuliahan ku di University of Kansas (KU) ini. Awalnya kukira mudah dalam memahaminya, ternyata banyak sekali terdapat konsep yang benar-benar baru yang membutuhkan kerutan di kening untuk mengerti lebih dalam. Di satu sisi aku merasa bahwa aku sangat butuh pemahaman yang lebih baik tentang mata kuliah ini, tapi di sisi lain aku juga pengen melakukan blogging, jadi terciptalah pikiran, kenapa semuanya tidak di-sharing saja di blog ku ini?


Dengan demikian, blogging bisa jalan dan belajar pun bisa. 

Mungkin dimulai dulu dengan perkenalan dengan buku yang menjadi dasar utama perkuliahan ini. Kami menggunakan buku baru dengan judul "PHYLOGENETICS - Theory and Practice of Phylogenetic Systematic" yang kedua pengarangnya E.O. Wiley dan Bruce S. Lieberman adalah staf pengajar di KU ini. Bahkan Bruce adalah salah seorang yang mengajar sekarang. 

Text book untuk mata kuliahnya
Sedangkan untuk materi pengayaan, dilakukan dengan membaca berbagai macam artikel yang diposting setiap hari oleh para dosen pengajar tersebut di media interactive pembelajaran yang dinamakan dengan "BLACKBOARD". Nah, singkat cerita, mari kita mulai memasuki apa-apa saja yang telah dipelajari selama ini. Tujuanku menuliskan ini agar bisa memahami lebih jauh tentang konsep-konsep yang ada, sekaligus juga menterjemahkan ilmu baru ini ke dalam bahasa yang lebih kita mengerti. 

Cladistics

Willi Hennig

Merupakan suatu konsep yang pertama kali dikembangkan oleh Willi Hennig pada tahun 1956 dan ditelaah lebih lanjut pada tahun 1956 yang mengembangkan suatu metoda sistematik yang berusaha untuk menegaskan: 
  • Keobjektifan dan kemampuan reproduksi (sehingga bisa dikatakan tidak menjadi hasil pemikiran melalui pendekatan subjektif dari ahli taksonomi secara perorangan)
  • Sejalan dengan pola evolusi yang "sebenarnya"
Konsep yang diusulkan oleh Hennig, yaitu sistem filogenetik atau kladistik, sekarang menjadi metoda standar untuk penarikan kesimpulan secara filogenetik di antara para ahli biologi. Kebanyakan dari jkonsep ini terbantu dengan adanya software komputer yang dapat digunakan dalam menganalisa data yang jumlahnya besar. Pandang yang paling penting dalam kladistik adalah jika kita mempertimbangkan semua character state yang dipunyai bersama oleh sejumlah organisme (dengan melihat semua kesamaan yang mereka miliki), maka kita tidak perlu lagi melakukan klasifikasi yang mencerminkan hubungan evolusioner antara makhluk hidup tersebut. Malahan kita hanya perlu memusatkan perhatian pada karakter tertentu yang memberikan informasi terkait kejadian evolusi tersebut. 

Untuk kepentingan konsepnya tersebut, Hennig menjabarkan beberapa istilah yang menjadi pembeda antara konsepnya dengan konsep yang lain. Istilah-istilah tersebut dapat ditemukan di bawah ini: 

Apomorphy yaitu suatu karakter state yang terspesialisasi atau diturunkan dan dimiliki oleh taksa-taksa sekarang; plesiomorphy merupakan karakter primitif atau karakter yang dipunyai oleh nenek moyang. Autapomorphy merupakan sifat warisan yang unik pada satu kelompok taksa, sementara synapomorphy merupakan sifat turunan yang dimiliki secara bersama-sama oleh dua atau lebih kelompok taksa. Berlawanan dengan itu, symplesiomorphy merupakan karakter atau sifat primitif yang dimiliki secara bersama-sama oleh sekelompok taksa. Istilah-istilah di atas tersebut didefenisikan secara relatif terhadap suatu nodus khusus (yaitu perwakilan dari suatu tingkatan taksonomi) yang terdapat pada suatu cladogram. Dengan demikian, suatu sifat bisa menjadi synapomorphy atau symplesiomorphy tergantung pada nodus mana ia berada. Contoh untuk ini bisa dilihat pada gambar di bawah ini, dimana tumbuhan berspora multiseluler bersifat autanomorphy terhadap tumbuhan darat, tetapi bersifat synapomorphy terhadap lumut hati dan semua tumbuhan darat lainnya, dan bersifat symplesiomorphy terhadap tumbuhan conifer dan angiospermae.       

Pada nodus A, "multicellular sporophyte" bersifat automorphy untuk clade b (tumbuhan darat). Pada nodus B (untuk lumut hati) dan clade c (tumbuhan berpembuluh), "multicellular sporophyte" merupakan synapomorphy. Pada nodus B, sifat ini adalah symplesiomorphy terhadap conifers dan angiospermae.



Sedangkan beberapa pengertian yang lebih luas, dapat ditemukan pada ulasan yang dibuat di bawah ini: 
 
Symplesiomorphy atau symplesiomophic character
Merupakan suatu sifat yang dipunyai secara bersama-sama (symmorphy) antara dua atau lebih taksa; dan juga dipunyai oleh taksa yang lain yang berbagi nenek moyang bersama dengan taksa pertama yang mempunyai sifat tersebut.

Synapomorphic character 
Adalah suatu sifat yang dipunyai secara bersama-sama oleh dua atau lebih taksa dan nenek moyang bersama yang paling dekat garis keturunannya, dimana nenek moyang tersebut tidak mempunyai sifat yang dimaksud. 


Homoplasy
Suatu sifat yang ditemukan di antara berbagai taksa yang berbeda tetapi tidak ditemukan pada nenek moyang bersama mereka (dengan kata lain adalah sifat yang sama yang muncul secara independen di masing-masing taksa). Contoh untuk hal ini adalah sifat homeothermy pada burung dan mamalia. Walaupun burung secara filopgenetisnya lebih dekat dengan bangsa reptil (buaya), tapi sistem pengaturan suhu tubuhnya identik dengan hewan menyusui (mamalia).


Autapomorphy
Merupakan suatu ciri anatomi, atau disebut juga ciri turunan, yang unik untuk kelompok taksa tertentu. Hanya ditemukan pada satu anggota dari suatu clade, tetapi tidak ditemukan pada salah satu dari taksa outgroup yang dijadikan pembanding untuk analisa filogenetis tersebut. Contoh untuk hal ini adalah hilangnya kaki pada ular, yang merupakan ciri dari semua hewan yang tergolong sebagai tetrapoda.



Sebuah cladogram yang menjelaskan istilah yang digunakan untuk menggambarkan berbagai perbedaan pola character state nenek moyang dan yang diturunkan

Organisme yang disatukan oleh satu atau lebih synapomorpy memiliki nenek moyang yang sama yang juga memiliki ciri turunan tersebut. Semuanya termasuk ke dalam monophyletic group dimana semua keturunan dari nenek moyang bersama harus termasuk ke dalam kelompok ini. Hal ini juga disebut sebagai kelompok "natural" atau "evolusioner" atau dianggap sebagai suatu garis keturunan. Dalam biologi evolusi modern, sangat sulit untuk mengenali hanya kelompok monophyletic semata. 

Jika satu kelompok tidak memasukkan semua turunan dari suatu nenek moyang bersama, kelompok tersebut dinamakan sebagai paraphyletic group atau grade. Contohnya di sini adalah kelompok Bryophyta, yang menghimpun lumut hati, lumut biasa dan lumut kerak, tetapi tidak tumbuhan berpembuluh. Contoh lainnya adalah kelompok "Gymnospermae" yang digunakan untuk menunjuk pada tumbuhan berbiji yang non Angiospermae. 

Jika group tersebut memasukkan sebagian atau semua turunan, tetapi tidak mengikutkan nenek moyang bersamanya, kelompok ini disebut sebagai polyphyletic group. Contohnya adalah kelompok dari semua tumbuhan epifit, tanpa menyertakan nenek moyangnya, maka akan dihitung sebagai kelompok polyphyletic. 

Suatu sister group (atau sister taxon) didefenisikan sebagai kerabat terdekat terhadap suatu monophyletic group yang ditentukan melalui satu atau lebih synapomorphy yang menyatukan kelompok tersebut.


Untuk lebih memahami istilah di atas, dapat dilihat gambar di bawah ini: 


(A) Monophyletic clades; (B) a paraphyletic clade; (C) a polyphyletic clade.


Cladistic method

Bagaimana cara mengetahui suatu karakter bersifat synapomorphy dan karakter tersebut "baik" untuk digunakan dalam suatu analisa filogenetik? Pertama, suatu karakter yang baik menunjukkan variasi yang lebih besar di antara taksa yang ingin dipelajari dibandingkan di dalam masing-masing takson (disebut dengan "operational taxonomic units" atau OTU). Kedua, variasi ini harus bisa diwariskan dan bersifat independen terhadap karakter yang lain. Misalnya, karakter "mempunyai xylem sekunder" dan karakter "mempunyai kambium pembuluh" TIDAK independen, karena xylem xekunder dihasilkan oleh kambium pembuluh. Ketiga, kita harus memastikan bahwa karakter dan character state yang dipelajari benar-benar sebanding, atau dengan kata lain disebut dengan homolog. Istilah homology pertama kali diperkenalkan oleh Sir Richard Owen tahun 1843. Kata tersebut berasal dari istilah bahasa Yunani "homologia" yang berarti "cocok". Homology menandakan struktur dan organ tubuh yang mempunyai hubungan evolusi, terserah apapun fungsi yang dipunyainya di masa sekarang. Hal ini bisa dikenali berdasarkan pada tiga kriteria homology:
  • kecocokan dalam posisi dan detil pada struktur tersebut

  • kecocokan dalam asal perkembangan

  • serangkaian character state evolusioner tanpa perubahan yang signifikan (dari sifat plesiomorphy pada nenek moyang sampai kepada apomorphy pada turunannya) dikenal dengan transformational homology.
Kesesuaian dalam struktur antara sister group dikenal dengan taxic homology. Sayap burung, tungkai depan kadal dan lengan manusia merupakan taxic homology, karena semuanya berasal dari struktur primitif yang ada pada nenek moyang bersama dari kelompok organisme tersebut. Sama halnya dengan hal tersebut, lembaran daun paku dan daun tumbuhan berbiji keping dua juga merupakan taxic homology. Synapomorphy dapat dipastikan selalu sebagai taxic homology.

Istilah homoplasy diterapkan oleh Lankester pada tahun 1870. Istilah ini merujuk pada struktur yang bersifat analog, yaitu struktur yang menunjukan similaritas dan mungkin melakukan fungsi yang sama, tetapi hal tersebut tidak diturunkan dari suatu struktur yang ditemukan pada nenek moyang bersama mereka.

Sayap dari kelelawar dan serangga merupakan analog (homoplastic) karena kedua berfungsi untuk terbang, tetapi berkembang dari struktur primitif yang berbeda. Homoplasy disebabkan oleh evolusi konvergen, evolusi paralel atau pembalikan karakter. Ini merupakan karakteristik dasar dari banyak struktur pada tumbuhan darat, yang mungkin menjadi salah satu alasan mengapa studi tentang filogenetik menjadi tidak populer di antara ahli paleobotany di awal abad 19. 

Suatu karakter merupakan ciri yang bisa dikenali dari suatu organisme, seperti "warna mata" atau "ada tidaknya tracheid". Sedangkan character state merupakan nilai dari suatu karakter, sebagai contoh, "biru" dan "ada" secara berturut-turut untuk karakter yang disebutkan sebelumnya. Perlu dicatat bahwa karakter-karakter yang terkait dengan suatu fungsi akan lebih memungkinkan untuk menjadi homoplastic atau konvergen, misalnya ukuran dan bentuk daun. 

Character states dapat dimasukkan ke dalam suatu matriks misalnya dengan memberikan angka "1" untuk "ada" dan "0" untuk "tidak ada", atau "1" untuk "hijau", "2" untuk "biru" dan "3" untuk "merah". Kebanyakan karakter dapat disusun dalam susunan evolusioner, dimana character state harus berurutan satu sama lainnya dalam suatu rangkaian transformasi karakter. Walaupun demikian, sangat sulit untuk menentukan polaritas, yaitu arah sebenarnya dari perubahan evolusi. Seandainya hal tersebut dapat dilakukan, maka orang akan dengan mudah menentukan, mana spesies yang menjadi basal (dasar dari cladogram), dan tentunya akan membantu memecahkan filogeninya. Polaritas bisa disimpulkan dengan melihat sejumlah bukti: ontogenetic yang terdahulu (suatu character state yang ada pada tahap awal perkembangannya, tapi selanjutnya menghilang), stratigrafik karakter terdahulu (suatu character state yang ada pada berbagai organisme dalam garis keturunan yang sama dengan hewan sebelumnya yang ada dalam sejarah perkembangan Bumi) dan perbandingan dengan outgroup (perbandingan dengan sister taxa yang dipotesakan).

Suatu analisa filogenetik dimulai dengan menentukan taksa yang ingin direkonstruksi hubungan evolusinya. Hal ini terdiri dari berbagai OTU dan masing-masingnya akan menempati suatu BARIS dalam matriks data. Setelah diputuskan karakter mana yang berguna untuk rekonstruksi evolusi, masing-masing karakter dibuatkan KOLOM di dalam data matriks. Character state untuk masing-masing karakter dan untuk setiap OTU kemudian diberikan skordengan tujuan untuk mengisi matriks data tersebut. Matriks data tersebut kemudian dapat dianalisa dengan menggunakan software komputer yang menggunakan suatu algoritma yang menggabungkan OTU berdasarkan pada jumlah terbesar dari karakter turunan yang dipunyai bersama. Algoritma yang paling tepat untuk data morfologi dan yang akan digunakan untuk percobaan tersebut dikenal dengan prinsip-prinsip maximum parsimony. Parsimony ("Okkham's razor") didasarkan pada tiga asumsi tentang evolusi: 

1. Organisme bereproduksi (replikasi)

2. Character states dan perubahan pada character state diwariskan; yaitu, variasi yang terkait antara induk dan turunannya (heritabilitas), memunculkan transformational homology

3. Evolusi terjadi dengan pemisahan atau divergensi sebagai suatu pola predominan, yaitu percabangan terjadi pada tingkat yang relatif tinggi jika dibandingkan dengan tingkat perubahan character state dalam satu garis keturunan tunggal. Ini akan memunculkan taxic homology atau homology antara sister group.

Wah, sementara cukup ini dulu yang kita bahas. Nanti segera akan dilanjutkan dengan catatan lain dari perkuliahan yang telah dilakukan. Mudahan-mudahan ada manfaat. 



Gambar dan bahan diambil dari berbagai sumber di internet

Jumat, 05 Agustus 2011

Tradisi Bercerita ..... Part of Biokonservasi Practicing



... Sedikit keluar dari mainstream utama blog yang awalnya saya rencanakan untuk masalah perburungan ini... Saya pengen membagi sedikit cerita yang tersisa dari dua tahun lalu saat memandu praktikum Biokonservasi di jurusan Biologi Universitas Andalas yang menjadi tempat bernaung saya... 




Mendongengkan cerita kepada anak saat mereka akan tidur dipercaya memberikan peningkatan pada kemampuan kognitif anak, termasuk juga membuat mereka lebih peka terhadap situasi emosional di sekitarnya... 


Kutipan kalimat di atas memberikan inspirasi bagi saya untuk memasukkan tradisi bercerita ini ke dalam salah satu mata kuliah yang saya asuh beberapa waktu lalu, BIOKONSERVASI.. Materinya simpel saja, yaitu mewawancarai orang-orang tua terdekat dengan mahasiswa yang mengambil mata kuliah dengan saya ini, kemudian mewujudkan hasil wawancaranya dalam bentuk essay singkat.. Hasil yang masuk bermacam-macam, mulai dari yang sekedar berupa laporan wawancara, sampai kepada yang benar-benar "nyeni" dan menyajikan hasil wawancaranya dengan cara seperti orang bertutur... Saat membaca hasil laporan dari tipe yang terakhir ini, saya sampai benar-benar tercenung, bahwa mungkin benar bahwa seniman itu gak harus lahir selalu dari sekolah seni... Ia dapat muncul dari berbagai kalangan masyarakat, yang menyikapi lingkungannya dengan caranya yang mendalam...




Salah satu dari sedikit cerita yang saya pikir cukup mengena di hati tersebut, saya sajikan sesuai dengan naskah aslinya.. Hanya sedikit memperbaiki redaksional dan koreksi untuk kapitalisasi plus suntingan gambar-gambar yang saya tambahkan dari berbagai sumber di internet, supaya kesannya gak monoton tulisan doang... 


Dikirim oleh Daniel Gusrianto, salah seorang mahasiswa saya dengan nomor BP 07133005... Silakan disimak...



Once…
Just a dream
  
Saat nafsu tak mampu untuk dikekang,
Maka tunggulah kehancuran akan menimpa

19 Maret 2010.

Hari yang cerah,.. seperti biasa.  Aku mengikuti praktikum mata kuliah biologi konservasi yang merupakan salah satu mata kuliah wajib di jurusan yang tengah ku tempati- Biologi. Meskipun waktu praktikumnya sampai 2-3 jam yang berarti melebihi jumlah total sistem kredit semester (SKS) yang hanya satu SKS. Namun, praktikum dari mata kuliah ini tidak begitu membuatku repot, sebab hal-hal yang dipraktikkan tidak begitu ribet. Walhasil membuat hatiku cukup senang menjalaninya J.
Sekitar pukul 17.00 WIB, praktikum ini akan usai. Dan waktunya koordinator praktikum atau asisten memberikan pengumuman, baik pengumuman tentang praktikum yang akan datang, maupun tentang tugas-tugas yang musti dipenuhi atau tentang hal-hal lainnya.
Disaat koordinator praktikum berdiri di depan para praktikan. Beliau siap dengan instruksi/ mengumumkan tugas yang harus dibuat. Tugas kali ini cukup menarik yang temanya yakni tentang ‘ konservasi di pandangan mata masyarakat’ atau tema yang senada dengan itu.
Pelaksanaan dari tugas yang akan dibuat dalam file word ini adalah “mewawancarai” nara sumber yang dicari sendiri oleh para praktikan. Sangat dianjurkan nara sumbernya yang telah berumur lebih atau sama dengan 50 Tahun. Hal ini tentunya bertujuan untuk melihat pengetahuan yang dimiliki oleh orang yang mau diwawancarai yang berkaitan dengan hal konservasi makhluk hidup. Apakah mereka  mengetahuinya atau tidak.
Hmm… tugas yang lumayan mengA-six-kan… pikirku ^_-
_dg_

Hari Rabu depan merupakan akhir dari pengumpulan tugas ini. Berarti deadline yang diberikan untuk menyelesaikan tugas ini ialah dua hari menjelang praktikum selanjutnya dimulai atau kurang lebih selama enam hari.
Dalam masa tenggang waktu tersebut, berarti aku harus bekerja secepatnya untuk merampungkan tugas ini supaya tidak tergesa-gesa nantinya , karena tugas dari mata kuliah lainnya juga ikut ngantri untuk menantikan giliran untuk diselesaikan.
_dg_

Dengan berbekal tekad, semangat, dan kepercayaan diri yang mantap. Pada keesokan harinya (20 Maret 2010) setelah pengumuman tugas diberikan. Aku langsung mencari responden sebagai nara sumber buat membantuku dalam menyelesikan tugas ini.
Lama ku berpikir, siapakah gerangan yang cocok untuk menjadi “mangsaku” saat ini. Otakku terus dan terus bekerja dan berusaha mencari orang yang tepat untuk aku wawancarai. Lama… L
Setelahku buka file-file yang tersimpan didalam data memori otakku yang selama ini memuat daftar nama-nama orang serta “jalinannya” dengan diriku, akhirnya kutemukan sasaran itu…
Mudah-mudahan tidak salah pilih…
Abak… ya… Abak Uwan. Itulah hasil pencarian otakku. Abak, beliau adalah kakekku sendiri. Orang tua laki-laki dari pihak ibuku.

Setelah hatiku “terpaut- menetapkan pilihan” pada Abak (panggilan sayang dari para cucu). Aku langsung mencari. Biasanya siang seperti ini beliau berada di rumah. Kucari… belum ketemu. Kutanya Dedek, sepupuku, dia juga nggak tahu. Panjang waktu yang kuhabiskan untuk bolak-balik “mengitari” rumah. Tetapi, yang dicari belum juga menampakkan batang hidungnnya. Bak seorang pujangga, lisanku menggumamkan lafaz “Hmm… kutunggu, pasti datang”
Hening -_-
_dg_

Memang aneh, bila sesuatu hal yang ingin diraih segera, menunggu sejenak bagaikan menunggu dalam kurun waktu yang lama. Namun, bila hal yang menakutkan tengah dinanti-nanti, waktu yang lama bagaikan hanya semenit. 
Rasa itulah yang menyertaiku ketika aku menunggu kedatangan Abak mau diminta ‘keterangan’ soal konservasi. Aku tak tahu dimana beliau sekarang berada. Kulihat jarum jam yang setia menempel di dinding. Seolah tak bergerak atau berhenti berputar. Padahal sesungguhnya ia masih berputar seperti sediakala. Ah… perasaanku. Benar adanya Waiting is boring-ting: menunggu adalah hal yang paling membosankan L.
Kuberanjak pergi meninggalkan ruangan yang biasanya ditempati Abak untuk menjalani berbagai aktivitas beliau sehari-hari sebagai carpenter. Kulangkahkan kaki menuju kamar. Sewaktu jemariku mulai menyentuh gagang pintu. Sayup-sayup membran tympaniku menangkap sinyal suara langkah kaki seseorang menuju ruang depan. Hatiku penuh harap. Degup jantungku tak konstan.
Tanpa ba-bi-bu langsung kubawa langkahku kearah sumber suara. Harapanku yang memuncak ingin bersua Abak pupus sudah. Karena ketika ku coba membuka pintu ruangan depan. Tak kudapati siapa-siapa—indra penglihataku tak menangkap bayangan orang. Tetapi, telingaku masih mendengar suara langkahan kaki. Kucoba lagi mencari sumber suara. Wele-wele… ternyata Cuma halusinasiku saja. Tak ada apapun dan siapapun.
Kukecewa. Kekecewaanku ku bawa bersama mimpi indah dalam istirahat siangku (Zzz…).
_dg_

Ba’da maghrib kudapati Abak telah duduk di bangku kesayangan beliau di depan TV. Dengan kebijaksanaan yang beliau miliki seolah tahu akan pikiranku, beliau memberikan penjelasan bahwa tadi siang beliau go out to get air fresh. Itu hanya istilahku saja yang menyatakan bahwa Abak sedang pergi bersilatuhrahim ke rumah Uwan- adik laki-laki ibuku (Mamak).
Laksana seorang pangeran yang membujuk rayu sang putri supaya beranjak dari peraduannya-mau bangun tidur. Ku hampiri Abak. Aku duduk disamping beliau yang tengah berkonsentrasi pada program acara salah satu channel TV di nusantara ini.
Selaku seorang cucu yang baik. Aku bersikap manis. Aku menyadari bahwa sopan~bersikap baik terhadap orang tua adalah perbuatan yang mulia. Selain itu juga aku sadar bahwasannya yang kuhadapi saat ini adalah sesuatu hal yang serius-sesuatu hal yang menyangkut nilai akademikku.
_dg_
Sejenak, suasana sunyi tercipta. Yang ada hanya suara yang bersumber dari speaker TV di depan kami- aku dan Abak, serta diiringi oleh nyanyian sendu sang jengkrik dan kodok memohon turunnya hujan dari langit yang berawan di luar sana.
Berawal… aku mulai berbasa-basi dengan Abak tentang perjalan yang beliau jalani siang tadi. Suasana akrab yang memposisikan diri Abak agar cucunya betah lama bersamanya selalu beliau jaga. Hal ini memberi peluang besar untukku bertanya seputar pengetahuan-pengalaman sang Abak dalam bidang konservasi.
Supaya tidak kaku dan terlalu gugup. Tentunya aku akan bertanya dan menggali pengalaman Abak tentang konservasi dengan bahasa yang mudah beliau pahami. Semisalnya, saat aku mulai bertanya dengan menggunakan kata konservasi, kuganti dengan kata perlindungan atau kata-kata yang bersinonimkan dengan hal yang ku maksud.
“Hmm… Bak, aie gadang yang ada di kampung awak tu apa namanya ya?”
Suasana yang hening ku pecah dengan pertanyaan perdanaku. Kupikir pertanyaanku termasuk kategori pertanyaan yang bodoh. Bagaimana tidak, coba. Bukannya aku tak tahu apa nama sungai yang mengalir di tanah kelahiranku. Namun, aku hanya sekedar ber-ba-bi-bi, membuka wacana (he…he…) :D
Kupandangi mimik wajah Abak yang agak kaget dengan “tembakkan” pertanyaan yang kulontarkan. Aku sengaja tidak bermukadimah terlalu panjang terhadap beliau tentang maksud dan tujuan yang ingin kucapai-tugasku ini, agar beliau tidak merasa di “tokohkan” sebagai nara sumber dalam sebuah wawancara yang resmi, juga dari akunya sendiri tidak hendak dengan suasana yang formal-formal yang hanya akan membebaniku sendiri.
Sekilas, kulihat Abak menatapku. Simpul senyum terhias di wajahnya yang mulai berkerut-keriput. Beliau kembali focus pada TV yang sedari tadi tak henti-hentinya berkoar-koar. Sedang aku terus menunggu jawaban- ya, sebuah jawaban. Kudengar kemudian dari lisannya Abak meluncur sebuah jawaban yang kunanti-nanti.
“O… itu, tu… Batang??? Anu…”
Beliau kembali berpikir seolah mengingat-ingat sesuatu yang telah lama luput dari ingatan
“O… ya, Batang Suliti”
Senyum simpul diwajah mengembang hendak berubah menjadi tawa lucu. Aku mengangguk-angguk atas jawaban yang dipersembahkan buatku yang sebelumnya telah kuketahui… (ketipu… he…he).
Di dalam hati aku tertawa riang. Geli rasanya.
Pas… Batang Suliti. Hatiku tersenyum membenarkan ucapan Abak. Di atas kepalaku menari-nari bayangan Batang Suliti. Salah satu sungai yang melintasi banyak Korong desa di kampungku. Sungai ini membujur-membelah hampir semua daerah yang ada di kecamatan Koto Parik Gadang Diateh (KPGD) dan kecamatan Sungai Pagu, Muara Labuh—Solok Selatan. Sungai berhulukan di Korong Suliti. Dari sini, sungai tersebut mengalir tenang bagai anak dara menjemput marapulai (e… salah, nggak?) hingga akhirnya akan menyatu dengan Batang Bangko di Daerah Koto Baru- SolSel dan terus mengalir dan bertemu dengan Batang Hari Yang berhulukan di Danau Diatas, Alahan Panjang-Kabupaten Solok.
Dari Abak, saat ditanya tentang jenis-jenis hewan yang ada dan yang mulai jarang ditemukan di sungai ini didapat keterangan bahwa telah banyak hewan-hewan di sungai ini yang sangat jarang untuk didapati. Bahkan tak ada sedikitpun, kalaupin ada, hewan seperti ikan telah mengalami penyusutan ukuran. Abak menambahkan jenis hewan yang ada dahulu sangat banyak, tetapi untuk saat ini jumlah yang ditemukan sangat sedikit. Di antaranya ialah Ikan Gariang, masai, dan limbek (ketiga jenis ikan ini sudah teramat jarang ditemukan~punah untuk daerah ini).
“Dahulu ikan tersebut sangat mudah untuk menemukannya, namun saat ini sukar ditemukan. Jangankan untuk mendapatkannya sebagai konsumsi, melihatnya pun sulit” tutur Abak berwibawa.
“kira-kira penyebabnya apa ya Bak?”
Tanyaku merendah.
“Ya,,, itu… tu pemakaian Putas (alat setrum yang dialiri listrik yang digunakan untuk menangkap ikan secara instan) yang tak terkendali, sehingga benih-benih ikan yang belum layak makan juga ikutan mati termasuk hewan sungai lainnya”
“Ndak ado yang managahannyo Bak”
Wee… bahasa minangku meluncur.
“Ada… pernah ada peraturan yang berisikan larangan menangkap ikan menggunakan putas. Tetapi warga kampung kurang menghiraukan ajakkan ini. Sampai akhirnya peraturan tersebut menghilang laksana angin berlalu begitu saja…” jelas Abak agak ketus.
Aku terdiam, setelah Abak memberi tahuku  tentang ciri-ciri ikan yang jarang didapati tersebut. Aku teringat masa laluku. Aku terbang terbawa nuansa nostalgia ke beberapa belas tahun silam. Ketika itu hujan lebat baru mengguyur bumi persada. Tanah becek, sungai meluap. Saat itulah warga kampung dibikin heboh dikarenakan ada seseorang warga mendapatkan seekor ikan limbek dengan ukuran yang besar yang terbawa bersama jaring (jala) yang dia punya. Ikan tersebut didapatnya Di Batang Suliti. Orang berbondong-bondong melihat ikan “langka” tersebut. Seolah mereka menemukan barang yang selama ini hilang dibawa masa. Padahal, sebelum penggunaan putas merak. Ikan tersebut mudah untuk diperoleh.
Aku prihatin :/
_dg_

Kembali aku bertingkah bodoh dan melanjutkan pertanyaan pada Abak yang sangat bersemangat dalam menjawab pertanyaan yang kuajukan.
“Selain putas. Kira-kira apalagi penyebab banyaknya jenis hewan sungai ini mulai jarang dilihat, Bak?”
Tanpa pikir panjang. Dengan lancar (???) Abak memberi keterangan padaku bahwa yang menjadi sebabnya adalah pendangkalan sungai dikarenakan aktivitas warga kampung yang sembarangan menebang hutan guna memenuhi kebutuhan mereka . sehingga tidak ada lagi yang mampu menahan air hujan yang turun. Akibatnya air mengalir deras bersama bebatuan menuju sungai. Hingga akhirnya sungai menjadi dangkal. Oleh karena itulah, lubuk-lubuk tempat hidupnya berbagai jenis hewan termasuk ikan menghilang seiring  habitatnya sirna.
Aku menghela napas panjang. Ingatanku membawa aku pergi bersama angan ke kampung halaman. O… itulah sebabnya aku tidak lagi menemukan lubuk yang dalam buat mandi bercimuk dalam sungai sewaktu pulang kampung lebaran kemarin.
­_dg_
“Wawancara” semakin menarik, inginku lanjutkan pertanyaan pada Abak tentang Hewan/tumbuhan yang “hilang”. Belum sempat ku mengajukan pertanyaan yang hendak keluar lewat mulutku. Abak kembali menjelaskan.
“Tu… baluik (belut)… kan lai tau ang ndak? Payah kini di cari”
Tanya Abak retoris.
Anggukan pelan ku-actingkan di hadapan Abak, menyatakan bahwa aku tengah menyimak penjelasan yang beliau paparkan.
“Benar juga ya… Saat ini belut sukar didapat” batinku.
 Dahulu… tempoe doeloe, menjelang dini hari yang gelap aku dan teman-teman se-gank-ku hobinya menangkap belut di keramangan malam. Ditemani petromaks dengan cahaya seadanya, kami bersemangat bermain lumpur sawah tempat kami mencari “mangsa”. Terkadang saking bersemangatnya, sampai-sampai kami tidak tahu bahwa yang kami tangkap juga ular tanah yang juga aktif malam hari, bergurau dengan kawanan belut-‘teman mereka. Kami baru menyadari yang kami tangkap adalah salah setelah kami membongkar hasil tangkapan siap disajikan dalam bentuk makanan lezat (hiy…). Tapi, saat ini… mangsa kami (belut) menghilang sudah…
“Semenjak pengolahan sawah dibantu dengan ‘mesin bajak’. Sawah-sawah ikut tercemar karena bahan bakar yang dipakaikan, sehingga belutpun ikut berduka-mati”. Jelas Abak.
“Iyo nak Bak, kalo pakai jawi(sapi) atau kabau (kerbau) tantunyo karajo lamo. Tapi kalo la pakai masin, karajo awak makin capek… nak bak!!” tambahku dengan nada yang khas pas diakhir kalimatku. Abak mengiyakan tuturanku. Tampak rasa senang bergelayutan di wajahnya.
Kembali Abak focus pada tontonan beliau. Ku beri kesempatan sedikit untuk abak untuk menikmati lagi lantunan acara yang terpampang di layar TV. Acara headline news miliknya Metro TV berdisko di wajahku. Kemudian, iseng ku coba “hajar” beliau dengan pertanyaan lain. Dengan gaya sok laksana seorang sufi yang lagi merenung, aku sedikit berpikir, pertanyaan apa yang mungkin untuk aku “beberkan”.
Hmm… yes.! Batang Lolo, Batang Limpauang. Semuanya ialah nama jenis tumbuhan yang dipasangkan dengan nama beberapa Korong yang ada di daerah kabupaten solok selatan. Ku berharap Abak bias menjelaskan kenapa nama tumbuhan itu yang ditempelkan buat Korong yang ada tersebut. Kenapa tidak nama Apel atau Anggur untuk menyebut nama Korong itu? Pikirku.
Ba’da pertanyaan ku ucapkan. Abak mulai bersejarah. Beliau berkisah bahwa nama Korong tersebut dikasih nama tumbuhan sebab di Korong itu ditemukan jenis tumbuhan yang bersangkutan.
“Baitulah caro inyiak moyang awak dulu kalau maagiah nama nagari” lanjut abak dengan bahasa Minang tulen yang lagi-lagi dengan logat yang khas. Aku melongo. Beliau paham. Tanpa diminta Abak bersabda.
“Inyiak awak dulu barasa dari Pagaruyuang nan disabuik inyiak anam puluah kurang aso. Di sabuik baitu karano jumlah mereka 60 urang kurang ciex. Nan ciex tu hilang di Korong nan kini dinamokan jo Korong Pisau Ilang (salah satu Korong yang termasuk dalam wilayah kecamatan Pantai Cermin, Solok)” sejarah Abak menggebu-ngebu.
“Apakah tumbuhan tersebut masih ada Bak?” tanyaku polos. Jujur aku tak pernah kenal dengan tumbuhan yang namanya Batang Lolo dan Batang Limpauang.
“Kini sudah sangat jarang. Mungkin disini tak ada lagi”
“Kalau Batang (kayu) Surian?”
Kutahu Surian itu adalah sejenis pohon yang berguna untuk bahan bangunan. Selain itu surian juga termasuk salah satu nama Korong yang ada di kecamatan Pantai Cermin.
“Kayu surian agak banyak”
“Apakah abak tahu kegunaannya?”
“Taulah… untuk buat rumah juo!!”
Agar diskusi makin menarik, Kembali memori otakku mencari-cari nama daerah yang dikaitkan dengan nama tetumbuhan. Yes… eureka!! Hatiku berteriak. Batang Pulai. Nama korongnya Pulai Condong
 Kutanya apakah beliau tahu? Beliau menjawab tahu.
Wah… a-six… J. Kulihat gerak jarum jam dinding telah menunjukkan hampir dini hari. Sebenarnya aku mulai mengantuk. Tetapi, disebabkan diskusi ini sangat penuh penasaran, kantuk yang menderaku hanyut dibawa aliran cerita dan kisah-kisah “lucu” versiku.
_dg_
Aku mau Abak berkisah tentang hewan-hewan yang tidak lagi ditemukan. Khususnya di kampung beliau yang juga kampungku. Pucuk dicinta ulampun tiba. Kuajukan permohonanku pada Abak. Abak yang lahir tahun 1932-an ini berkisah tentang pemberontakkan kawanan gajah ke kampung-kampung (sekitar tahun 1950-an). Kawanan gajah itu memberontak dan meluluhlantakkan rumah-rumah penduduk di salah satu daerah di Solok Selatan, sebab mereka merasa terganggu oleh aktivitas manusia (warga) yang mulai merusak habitatnya.
“Ang lai mancaliak tulang-tulang gadang nan basuo di Balun, kan?”
Abak bertanya padaku. Pertanyaan itu membuatku ingat akan peristiwa yang terjadi tahun 2004 lalu. Dimana, salah seorang petani dari Korong Balun (SolSel) menemukan tulang belulang yang berserakkan di hamparan sawah garapannya. Benda-benda aneh itu didapatnya secara tidak sengaja saat ia memangkul sawahnya. Kalau dilihat dari bentuknya, tulang-belulang itu mustahil milik manusia. Kalupun iya, barangkali manusia tempoe doeloe. Tetapi, masyarakat menduga itu adalah miliknya gajah. Cerita makin hangat apalagi Abak sangat pandai membumbuhinya dengan mitos-mitos sezamannya.
“O… ya. Iya aku tahu”. Jawabku atas pertanyaan Abak. Beliau menceritakan hal ini sebagai pembuktian bahwa telah terjadinya pemberontakkan dari kawanan gajah ke pemukiman warga. Namun, sekarang aku tak tahu lagi keadaan tulang yang pernah ditemukan itu.
Mataku menoleh TV yang masih nyala. Abak pun ikut mengarahkan pandangannya ke TV. Disana—dilayar TV tengah diberitakan suasana banjir yang melanda sebagian besar wilayah di tanah air ini. Ku curi kesempatan. Kutanya lagi Abak yang kembali berkonsentrasi pada tontonannya.
“Bak, menurut Abak usaha yang dilakukan supaya mengurangi atau mencegah tercipta banjir apa ya Bak?”. Maksud dari pertanyaanku sebetulnya ialah apa usaha kita (Abak) dan masyarakat supaya bergiat dalam bidang konservasi? Itu kira-kira.
Sebelum sampai pada jawaban yang ku mau. Abak menguraikan sedikit kata-kata bijaknya, “Itulah… nafsu yang bila tak terkekang, semaunya menebangi hutan. Sehingga jelas tampak kerusakan dimana-mana”.
“Jadi…?!” desakku. “Ndak ang caliak, nan ado di Ladang Padi tuh?!”. Maksud Abak yakni Hutan Raya Bung Hatta sebagai salah satu usaha konservasi. Dari perlindungan hutan disana diharapkan dapat mencegah terjadinya banjir.
“Kalau kita tebang gimana Bak?”. Pancingku, Abak menyahut, “Kalau TaHuRa itu kita babat. Banjir banjir pastinya akan melanda kota ini (Padang)” tegas Abak yang mulai mengantuk pula.
“Lain dari itu? Apo lai Bak?”. “itu..tu yang ada di Sungai Penuh… tuh a”. Dialek khas minang muncul lagi. Maksud Abak adalah Taman Nasional Kerinci Seblat sebagai sarana konservasi.
Walaupun Abak tidak tahu nama tempat/kawasan konservasinya. Namun, aku tahu apa yang beliau maksudkan. Inginku bertanya banyak hal lagi. Tapi, Abak tidak bias melanjutkan. Beliau mau istirahat. Malam makin larut. Aku juga tak tega terus-terusan “menghajar” beliau dengan desakkan pertanyaan. Namun, sebelum Abak (yang belum sempat menamatkan Sekolah Rakyat (SR), sekolah yang setara dengan SD saat ini) kembali ke peraduan. Satu hal ingin kutahu dari beliau yaitu kenapa beliau bias tahu tentang hal-hal “konservasi” meskipun tanpa beliau sadari? Beliau memaparkan bahwa beliau bisa mengetahuinya karena beliau suka jalan (travelling/tour) ke daerah manapun bila ada kesempatan, baik kesempatan waktu maupun kesempatan uang—ongkosnya.
Mendapat jawaban seperti itu, terngiang kata yang pernah diucapkan oleh Rene Descrates dalam pendengaranku. Ia berujar “Cogito erga Sum” (aku berfikir, maka aku ada).
Aku mengucapkan terima kasih pada Abak. Walau bukan dalam ucapan, lewat sikap tak apalah. Abak berlalu menuju peraduannya. Akupun beranjak mengunjungi tempat peristirahatanku untuk malam ini- tidur.
Sebelum mataku terlelap, kesimpulan yang kuperoleh lewat “wawancara” bersama Abak tadi ialah:
Berusahalah Melestarikan Apa yang Sedang Kita Nikmati Hari Ini, Sebab Esok Masih ada Hari Yang Lain. Hari Dimana Anak-Cucu Kita Juga Berhak Untuk Mengenyamnya- Ya… Alam Ini. Jangan Sampai semua ini hanya menjadi mimpi pengantar tidur Buat generasi mendatang.
Once… Just A Dream 






Hffffff..... 
Saya membaca cerita ini dalam keheningan malam sambil mencoba menempatkan diri dalam situasi si penutur... Terbayangkan seorang cucu tengah bersama kakek kesayangannya, bercerita tentang hal yang remeh temeh, tapi terlihat makna kasih sayang antar keduanya tersampaikan dengan utuh dalam cerita. Saya seperti berada di suatu tempat, dengan kakek saya (kedua-duanya sudah tidak ada lagi sekarang) dan juga tengah berbagi cerita.....Memang kalau dilihat dari segi konservasinya, sepertinya agak sedikit terkalahkan oleh muatan "nyeni" dari ceritanya.. Nah, dari cara itulah saya dapat memahami sedikit hal konservasi yang disampaikan oleh sang penulis....

Anyway, terima kasih untuk Daniel yang sudah mengijinkan saya untuk memuat ceritanya ini di dalam blog ini... Walaupun blognya diisi sangat jarang-jarang-jarang-jarang sekali....

S-E-K-I-A-N..........

Rabu, 17 November 2010

Sepenggal Cerita Sehabis Keliling Sumbar-Jambi


Cerita ini dimulai dari kedatangan salah seorang teman luar negeri saya yang sangat pintar orangnya. Perempuan, muda dikit dari saya, tapi sudah mau menyelesaikan pendidikan S3 atau PhD-nya di Amerika. Namanya Hua Fangyuan. Aslinya doi orang China, tapi ngambil S3 nya itu di University of Florida… Kalau balik ke belakang lagi cerita kenapa bisa kenalan sama dia, waah… Panjang tuh ceritanya.. Bisa habis dibuat jadi telenovela tiga season… Ha ha ha…

Tapi yang jelas kami bisa kenalan dan bekerjasama seperti sekarang ini karena sama-sama menjadi peneliti di bidang ornithology. Pas dia butuh seorang tenaga lapangan untuk pengambilan data di tahun 2008, saat itulah saya ketemu dengan dia… Kalau dulu hanya menjadi asisten lapangan bagi doi, sekarang saya naik peringkat menjadi research partner alias kolaborator. Dari saling berkolaborasi inilah, kami akhirnya berhasil mendapatkan kucuran dana dari Conservation Leadership Program (CLP) dengan jumlah yang cukup jut-jutan…

Ni dia Mpok Fang, lengkapnya Fangyuan Hua
Kalau ini Pak Edi yang menyupiri mobil APV sewaan kami
Akhirnya, dengan modal kucuran dana dan semangat berkolaborasi yang kental inilah, Mpok Fangyuan kembali datang ke Sumatera untuk menyelesaikan penelitian S3-nya sekalian menyelesaikan proyek penelitian kami tersebut. Proyek penelitian yang mengambil lokasi utama di pedalaman rimba Jambi yang penuh nyamuk dan ancaman malaria.. Tepatnya berada di Hutan Harapan.. Tapi, cerita yang saya tampilkan kali ini bukan tentang pengalaman penelitian di kawasan tersebut, tapi tentang perjalanan saya keliling-keliling mulai dari Solok Selatan yang masih berada di dalam provinsi Sumatera Barat, sampai ke Sungai Penuh di Kerinci serta kawasan seputaran Taman Nasional Kerinci Seblat, Provinsi Jambi. Semua ini kami lakukan demi untuk mencari site penelitian yang benar-benar pas digunakan untuk penelitiannya si Mpok Fangyuan ini.

Mengunjungi PT. AMT di Solok Selatan, Sumatera Barat

Perjalanan yang sebenarnya dimulai dari Padang. Kami udah diskusi dengan Bapak Wilson Novarino (Ingat postingan yang lalu, beliau ni kayaknya udah jadi guru spritual saya. He he he he...) tentang site yang mungkin berpotensi untuk dilakukan uji coba pendahuluan. Dengan menumpang sebuah APV yang disopiri oleh Pak Edi, sopir langganan kami saban berjalan jauh keluar kota, maka kami berangkat menuju tujuan pertama kami, yaitu PT Andalas Merapi Timber, sebuah HPH yang berada di Kabupaten Solok Selatan. Kami udah minta ijin lisan dari kantor pusat PT. AMT ini saat berada di Padang. Ternyata, sangat mudah sekali minta ijinnya, karena HPH ini juga mengusahakan Eco label untuk setiap kayu  yang dikeluarkan dari HPH-nya. HPH ini juga mengelola sebagian dari kawasannya dalam sistem High Conservation Value Forest (HCVF). Jadi dengan sistem ini, mereka dianggap sebagai HPH yang ramah lingkungan dan bisa diganjar dengan Eco label tadi. Nah, kalo kayunya udah berlabel ramah lingkungan, bisa dengan mudah menembus pasar luar negeri, terutama Eropa dan Amerika. 
Papan penanda PT. AMT dan sistem pengelolaan kawasan berbasis HCVF
Nah, perjalanan yang dimulai dari pukul 4 sore dari Padang. Itupun setelah wara wiri mempersiapkan gono gini untuk di lapangan nanti, akhirnya kami berangkat juga. Melewati jalan yang berlika liku,mendaki dan menurun, mulus atau kasar. Kebetulan saat mulai memasuki kawasan Muara Labuh yang notabene sudah berada di dalam lingkup Solok Selatan, listrik kayaknya padam. Sehingga kami agak kesulitan juga untuk melihat sana-sini menemukan petunjuk untuk perjalanan. Akhirnya, sekitar pukul setengah Sembilan malam sampai juga di Padang Aro yang menjadi ibukota dari Solok Selatan. Di sini kami sudah janjian dengan salah seorang alumni Jurusan Biologi, Dedi Julia namanya, yang kebetulan sudah menjadi PNS di SolSel ini. Kami nginap semalam di rumahnya. Lebih detailnya, saya bersama Pak Edi yang cowok di tempatnya Dedi, sedangkan Mpok Fangyuan yang cewek diinapkan di tempat temannya Dedi yang juga cewek. Sebenarnya nginap di tempat Dedi ini juga bukan kebetulan begitu saja. Dedi yang kerja sebagai PNS di Kantor Lingkungan Hidup Solok Selatan punya kontak di PT. AMT dan juga tau dimana lokasi HPH ini. Di sinilah saya sebenarnya mau bilang bahwa kerja jadi dosen itu enak… Setelah menghasilkan alumni yang nantinya kerja di mana-mana, kita jadi enak kalau mau pergi kemanapun. Bisa dapat sedikit fasilitas dari para alumni yang rata-rata bekerja di posisi strategis. Bukan KKN, tapi yaaaa… mungkin KKN yang positifnya lah..

Hari Rabu paginya, dengan diantar Dedi, kami masuk ke kawasan AMT yang terletak jauh ke dalam kawasan hutan di Padang Aro tersebut. Sekitar 10 kilometer, dengan jalan yang rata-rata terdiri dari material batu koral yang diambil dari kawasan sekitarnya. Terhitung ada dua sungai besar di sepanjang ruas jalan penghubung PT. AMT dengan Padang Aro. Sayang sekali, badan sungai serta habitat di sekitarnya sudah sangat rusak sekali akibat ditambang secara liar oleh Penambang Emas Tanpa Izin (PETI). Beberapa tanjakan nyaris membuat saya berpikir bahwa APV yang disewa tersebut gak bakal bisa jalan lagi. Apalagi bebatuan material jalannya berguguran dan membuat jalan jadi sedikit selip. Tapi untunglah Pak Edi yang udah kami kenal kemampuannya tersebut dapat mengendalikan mobil dengan baik. Di beberapa ruas jalan, kami menemui papan peringatan bahwa pada bagian tersebut bersinggungan dengan perlintasan hewan. Ini sebagai bentuk amalan dari pengelolaan berbasis HCVF tadi. Hewannya juga gak tanggung-tanggung: Harimau dan beruang madu!! Akhirnya setelah satu jam perjalanan, kami sampai di camp risetnya PT. AMT dengan selamat. 
Salah satu PETI di sekitar jalur Padang Aro-PT. AMT
Awas ada Harimau!!
Yang ini awas ada beruang!! Teteup menakutkan

Kami dipertemukan oleh Dedi dengan beberapa orang staf yang kebetulan berada di sana. Tapi sayangnya, manejer lapangan yang bertanggung jawab untuk camp tersebut lagi berada di luar. Untunglah, Pak Agus yang bicara dengan kami tersebut sangat baik orangnya. Kami dipersilahkan  untuk ngaso dulu di kantin sambil makan apa yang ada dan membuat minuman sendiri.  Setelah makan, Dedi pamit untuk kembali ke Padang Aro.  Kami tetap tinggal di dalam camp, sambil menunggu manejer camp kembali.
Saya dan Mpok Fang memutuskan sambil menunggu mungkin lebih baik untuk mencoba melakukan percobaan mobbing di beberapa lokasi yang kebetulan ada. Kami ditemani oleh dua orang staff lapangan di camp riset tersebut. Satu namanya Mulyadi, satu lagi Anto. Keduanya masih muda, mungkin sepantaran dengan lulusan SMU. Nampaknya kedua orang guide kami ini cukup komunikatif, bahkan cenderung suka becanda. Dengan demikian kami jadi enjoy di lapangan. 

Tim Lapangan di AMT. Saya sebelah kiri, tengah Mulyadi, kanan Anto
Namun walaupun suasana yang didapatkan cukup enjoy, tapi sayangnya pas Mpok Fang mencoba melakukan mobbing eksperimennya, ternyata tidak ada burung setempat yang merasa tertarik dengan suara Glaucidium brodiei tersebut. Lantunan suara panggilan yang disebarkan dari speaker portabel yang diletakkan dekat dengan figuran Glaucidium pun tak mampu memanggil mereka untuk datang. Akhirnya dengan sedikit kecewa, kami turun kembali ke camp untuk makan siang. 

Mr. Owlet, sang figuran Glaucidium brodiei (Collared Owlet). Digunakan dalam percobaan mobbing-nya Mpok Fangyuan
Sehabis makan siang, manejer lapangan camp riset AMT ini datang bersama dengan beberapa orang staff dapur yang pergi keluar ke Padang Aro untuk  belanja kebutuhan dapur. Juga beberapa orang mahasiswa dari Universitas Bengkulu yang kebetulan melakukan internship di AMT ini juga datang. Jian dan Al kalau tidak salah namanya. Kami berkenalan dan suasana yang akrab pun terjalin dengan cepat. Karena manejer lapangan sudah datang, maka info tentang kawasan tersebut kami minta, terutama peta kawasan HPH dan sejarah logging yang dilakukan pada kawasan tersebut. Dengan adanya data tersebut, Mpok Fang dapat melakukan overlay secara manual untuk menentukan block logging yang mempunyai ketinggian di atas 800 m dan mempunyai sejarah pengambilan kayu di sana. Di samping itu, ternyata AMT juga menyisakan sebagian dari kawasannya untuk kepentingan tertentu dalam keadaan utuh alias masih primer. Kemungkinan pengambilan data penelitian si Mpok juga bisa dilakukan sebagian di sini. Oya, selama melakukan percobaan mobbing tadi, saya juga berhasil mengabadikan beberapa jenis burung yang kebetulan tertangkap dengan lensa makro yang saya bawa... Cekidot aja hasilnya di bawah ini...

Red-billed Malkoha Phaenicophaeus javanicus

Dark-throated Oriole Oriolus xanthonotus
Velvet-fronted Nuthatch Sitta frontalis
 Karena waktu di sore harinya dihabiskan dengan melakukan analisa kawasan berdasarkan peta dan data yang didapat dari menejer di sini, kami tidak jadi ke lapangan untuk melakukan mobbing lagi. Hanya memasang dua buah net di sekitar lokasi camp dengan harapan dapat menjaring satu atau dua jenis burung yang akan direkam suaranya nanti oleh si Mpok. Ternyata sampai sore habis dan malam menjelang, tidak ada yang nyangkut. Maka net ditutup dengan sedikit gundah. Huuuuhhh… Tapi walaupun demikian, kami sudah berhasil menentukan beberapa lokasi ideal pengambilan data di masa yang akan datang. Kami juga sudah memutuskan untuk mengunjungi salah satu lokasi tersebut untuk melakukan analisa awal.

Malamnya, camp diterangi dengan lampu dan listrik yang dihidupkan dari genset yang ada di kantor AMT. kesempatan itu kami gunakan untuk mengisi baterai beberapa alat elektronik yang kami bawa. Sekalian juga bisa nonton televisi melalui antenna satelit. Beberapa orang malah nonton film dari VCD player yang ada di sana. Untunglah menjelang jam 10, ketika genset sudah dimatikan, semua alat berbasis rechargeable battery milik kami sudah terisi penuh. Jadi, malam pun bisa dihabiskan dengan tidur tenang, karena kondisi  yang sudah sangat capek sehabis melakukan berbagai kegiatan di siang harinya. Oh ya, malam itu juga gak sengaja ngeliat salah satu penghuni camp yang sering keluar malam-malam gitu.. Si Bufo asper... Cakep juga doi kalo difoto..
Asian Giant Toad Bufo asper

Besoknya, rencana untuk mengunjungi salah satu block bekas logging AMT terpaksa kami batalkan secara sepihak, karena hujan yang turun disertai dengan kabut tebal yang membalut kawasan AMT membuat kami tidak mungkin untuk turun ke lapangan mengambil data. Semua pasti sudah tahu kalau burung-burung lebih suka berdiam diri daripada keluar mencari makan di kondisi cuaca yang seperti ini. Mpok Fang pun dengan manyun bilang pada saya bahwa kemungkinan rencana kembali diubah dengan langsung keluar dari camp AMT dan menuju ke Sungai Penuh untuk mencari informasi tentang beberapa kawasan lain yang ada di TN Kerinci Seblat.

Setelah packing barang-barang bawaan, kami pamit dan langsung meluncur menuju ke Sungai Penuh. Tujuan kami di sana adalah bertemu dengan beberapa orang kontak dari LSM Lembaga Tumbuh Alami serta beberapa orang di Balai Besar TN Kerinci Seblat.

Pengamatan burung dan Mobbing Experiment di Gunung Kerinci  
Di Balai Besar TN Kerinci Seblat tidak banyak data yang bisa kami peroleh. Kebetulan, semua staff lapangannya lagi ikut pemantauan harimau di lapangan. Kepala Balainya pun tidak begitu tahu banyak tentang site dan habitat yang ada di dalam kawasan TN. Kamipun selanjutnya menuju ke LSM LTA untuk mencari informasi tambahan. Di sini, beberapa orang staff nya memberikan kami informasi yang kurang lebih sama dengan informasi yang sudah kami ketahui sebelumnya. Tapi ada beberapa orang kontak yang kami dapatkan untuk mencari data tambahan nantinya. Kami juga disarankan untuk mengunjungi rumah Pak Subandi di Kerisik Tuo. Kawasan ini sebenarnya sudah kami lewati dalam perjalanan Padang Aro-Sungai Penuh, sehingga kami harus balik lagi ke arah Padang Aro.
Patung Tugu Macan, tanda homestay Subandi sudah dekat
Selepas siang, kami sampai di Kerisik Tuo. Penanda rumah Pak Subandi yang juga dijadikan sebagai homestay bagi para pengamat burung di Gunung Kerinci adalah sebuah tugu dengan patung macan yang berdiri menantang ke arah jalan (kalau saya menjadi kepala daerah setempat, tugu ini akan saya ganti dengan tugu "Trio Macan"). Dari tugu ini, tinggal tanya saja sama orang-orang yang ada di sana di mana rumah Pak Subandi ini. Gampang menemukannya, karena letaknya yang di pinggir jalan dan ada plang yang menyatakan tempat tersebut sebuah homestay. Tempat ini biasanya pada bulan Juli-Agustus tiap tahunnya selalu ramai digunakan oleh orang asing yang ingin melakukan pengamatan burung endemic khas gunung Kerinci. 
Homestay Subandi, akomodasi rumahan murah meriah
Kaca rumah homestay Subandi yang penuh stiker para pengamat burung
Di tempat ini kami disambut langsung oleh tuan rumah, Pak Subandi. Beliau cukup bisa berbahasa Inggris, sehingga Mpok Fang bisa lebih mudah berkomunikasi langsung dengannya. Sebenarnya ada sekitar enam homestay lain di kawasan ini, tapi cuma homestay Pak Subandi ini yang menyediakan jasa pemanduan untuk melihat burung endemic Kerinci. Bahkan saking  terkenalnya, tempat ini sudah dimasukkan ke dalam salah satu tujuan Birdtour Asia. Hal ini juga kalau dilihat dari buku tamu yang disodorkan Pak Subandi. Banyak tamu asing yang menuliskan kesan-kesan mereka selama menginap, serta tidak lupa menceritakan pengalaman pertemuannya dengan berbagai jenis burung unik Gunung Kerinci.

Setelah berdiskusi dengan Pak Subandi, kami menurunkan barang-barang bawaan dan membawa ke kamar yang memang disediakan untuk disewakan. Terlihat di sini bahwa beliau sekeluarga memang sudah biasa menerima tamu di rumahnya. Contoh yang bagus buat dikembangkan di tempat lain yang punya potensi sama. Malamnya kami tidak makan di tempat Pak Subandi, tapi nyari rumah makan di dekat pasar KersikTuo yang masih buka. Ternyata rumah makan dengan masakan rumahan tersebut cukup enak dan murah meriah… Mungkin bisa jadi rujukan jika nanti ada lagi datang ke tempat ini.

Besoknya, kami bangun pagi-pagi… Udara sangat sangat sangat dingin.. Tapi berkat mandi pada malam sebelumnya, cukup membuat kami terbiasa.. setelah persiapan dengan alat-alat untuk deteksi mobbing, juga setelah istri Pak Bandi selesai membuatkan bekal makan pagi, kami berangkat menuju ke dalam, ke arah gunung Kerinci nya.. Pemandangan sepanjang kebun teh yang terhampar hijau sangat menyegarkan.. setelah beberapa saat, pemandangan berganti dengan keberadaan tanaman sayur mayur dataran tinggi dan tanaman tahunan penduduk… Sepanjang perjalanan, tidak henti-hentinya saya mengabadikan keindahan gunung Kerinci yang “seksi” ini. Kebetulan sekali, pagi itu udara cukup cerah dan Gunung Kerinci pun sama sekali bening, bersih dari tutupan kabut dan awan. Momen yang jarang untuk ditemui di tengah musim hujan yang terus melanda.
Gunung Kerinci yang "seksi". Hamparan padang teh menambah pesonanya
Kebun kol di kaki Gunung Kerinci. Kalo beli sayur di sini, murah meriah.

Cukup jauh juga perjalanan ini, sekitar 5 km dari jalan utama penghubung Padang Aro-Sungai Penuh.. Apalagi kalau ditempuh pake jalan kaki… He he he… Pas sampai akhirnya di dekat sebuah bekas papan reklame baliho yang tak lagi dipakai, karena papannya yang dari besi dah berkarat dan roboh sebagian.. Di sana, mobil travel sewaan kami tidak bisa masuk lagi. Artinya, kami harus melanjutkan dengan berjalan kaki.. Semua keperluan penelitian diturunkan dan disandang. Saya juga mengganti lensa kamera dengan lensa tele yang bisa dipakai untuk jarak jauh.. Okeee.. dengan demikian, kami siap tempur…
Siap menemukan jenis eksotis Gunung Kerinci. Pak Subandi yang sebelah kiri
Gerbang gunung, sebelum masuk ke pintu hutan pegunungan

Setelah berjalan kurang lebih sekiloan, kami mencoba eksperimen mobbing-nya Mpok Fang… Seperangkat alat pengeras suara, dihubungkan dengan kabel extension ke iPod-nya si Mpok sehingga dapat distel dari jauh untuk memainkan suara Glaucidium brodiei. Untuk lebih meyakinkan para burung-burung kecil yang terpancing oleh suara tersebut, maka dipasang figure burung hantu imut ini di dekat speaker diletakkan. Figure ini dibuat dari burung G. brodiei asli yang diisi dengan kapas dan diberikan kawat pada bagian kakinya sehingga bisa diberdirikan di ranting atau dahan pohon sedemikian rupa menyerupai burung hantu asli yang masih hidup. Figure burung hantu ini dibuat dari industri rumahan yang ada di China. Dipesan langsung oleh si Mpok demi kesuksesan penelitiannya. 

Kata si Mpok tentang settingan eksperimennya begini, “Ketika para burung-burung kecil yang terdiri dari berbagai jenis ini mendengar suara Glaucidium dan merasa terganggu dengan itu, mereka biasanya akan mencari sumber suara tersebut. Jika kita menambahkan figure tersebut di sekitar kita meletakan speaker, maka para burung tersebut akan merasa yakin dengan keberadaan Glaucidium tersebut dan akan melakukan tindakan mobbing dengan berusaha terbang mengelilingi si figure ini, mengganggunya supaya bingung dan gagal memangsa mereka.” Oke deh Mbak.. Mari kita coba..

Setting percobaan sudah siap, kemudian kami bagi tugas.. Si Mpok megang handicam (lebih tepatnya berdiri di belakang handicam yang diletakkan di atas tripod—belakangan si Mpok bingung nge-translate arti tripod ini, apa tripod aja langsung, ato dijadiin transliterasi harfiah “tiga kaki”). Diriku megang kamera berlensa makro. Pak Subandi menjadi tim taktis. Kami semua harus berupaya mengidentifikasi jenis-jenis burung yang terpancing oleh bunyi suara si Glaucidium tadi.

Tombol “ON” ditekan. “Pup… Pup-pup.” Tiga kosakata konstan yang diulang-ulang selama sepuluh menit. Terbukti, nada ini sangat "sakti". Langsung saja beberapa individu burung mampir ke kisaran radius 10 meter dari sekitar speaker dan figure Glaucidium nampang. Wuiih.. Rame.. Sumpah idup, fenomena mobbing ini memang sangat menakjubkan untuk disaksikan.. Berbagai jenis, mulai dari Stachyris nigriceps, S. striolata, S. chrysaea, Pycnonotus leucogrammicus, P. cyaniventris, Eumyias indigo, Seicercus montis, S. grammiceps, Culicicapa ceylonensis, Niltava sumatrana, Phylloscopus trivirgatus, P. borealis, Orthotomus cuculatus, Muscicapa dauurica, Rhipidura albicollis, Aethopyga siparaja dan Arachnothera longirostra. Semuanya wara wiri di depan si figuran Glaucidium tadi, berusaha memberikan perlawanan layaknya menghadapi burung hantu asli yang memang hidup. Di saat itu semuanya sibuk ber-mobbing ria, sangat mudah sekali mendekati dan mengambil foto mereka semua. Jadi kepikiran juga saat itu, bagaimana kalau menggabungkan metoda mobbing ini dengan metoda mistnetting. Tapi pastinya perlu pertimbangan lebih lanjut untuk itu. Ya udah, untuk sementara, dapat foto-foto dari berbagai jenis burung kecil yang cantik ini juga tidak kurang bahagianya..
Indigo Flycatcher Eumyias indigo
Jenis Flycatcher lain, kemungkinan Asian  Brown Flycatcher Muscicapa dauurica
Rufous-vented Niltava Niltava sumatrana jantan
Cream-striped Bulbul Pycnonotus leucogrammicus. Jenis endemik pegunungan Sumatera yang sering mobbing dengan garang
White-throated Fantail Rhipidura albicollis. Juga sering terlihat mobbing
Yellow-breasted Warbler Seicercus montis. Imut dan lucu...

Pagi itu kami hanya berhasil melakukan dua kali mobbing experiment, karena menjelang pukul sebelas siang, hujan gerimis yang terus berubah menjadi hujan lebat membuat kami harus berteduh di bawah camp semi permanen yang memang sengaja disiapkan untuk tempat berteduh para pendaki gunung yang melewati jalur Kersik Tuo ini. Karena lama hujannya tidak berhenti, kami membuat api unggun di bawah tudungan camp semi permanen ini. Juga diteruskan dengan menikmati bekal makan siang yang dibawa oleh Pak Subandi, ditemani dengan teh dan kopi hangat.. Wuuuih… Sedap nian.. Emang pantas kalau Homestay dan Jasa Birdwatching yang disediakan sama Pak Subandi ini jadi salah satu agenda para wisatawan yang datang ke daerah Kerinci ini. 
Lewat sedikit dari tengah hari, hujan mereda. Kami memutuskan untuk mencoba beberapa kali lagi mobbing ini. Jadi, perjalanan ke arah pendakian yang lebih tinggi dilanjutkan. Akhirnya pada point yang kira-kira berjarak 500 meter dari lokasi camp pendaki tadi kami kembali memasang setting mobbing experiment. Cuma sayangnya, setelah 10 menit memutar suara pemancing, tidak ada burung-burung kecil yang mendekat. Si Mpok berkesimpulan bahwa kemungkinan besar hujan tadi telah membuat para burung lebih memilih untuk berdiam di sarang atau tempat bermalamnya daripada sibuk mikiran burung hantu iseng yang bunyi-bunyi gak karuan. Oke deh.. Dengan demikian, kami memutuskan hengkang kembali ke homestay. Tujuan utama untuk mencoba melakukan mobbing experiment berhasil dilakukan dengan baik. Di samping dapat dengan leluasa memotret burung-burung yang terpancing emosinya dalam percobaan ini, kamera Nikon SLR D60 ini juga berhasil mengabadikan beberapa burung lain yang dengan jinak-jinak Bombay berseliweran di sepanjang trail pendakian.. Ditambah dengan jenis-jenis yang sudah disebutkan di atas, ada lagi Myophonus melanurusMacropygia unchall dan Parus major serta beberapa jenis lain yang agak sulit diidentifikasi saat di lapangan. Asyiiikk…
Shiny Whistling-thrush Myophonus melanurus
Great Tit Parus major yang jarang terlihat dan sukar terfoto
Barred Cuckoo-dove Macropygia unchall. Untung pake lensa tele, jadi bisa di-zoom dan terlihat baik
Kalau yang ini saya kurang tau apa jenisnya. Kemungkinan sejenis Wren Babler atau jenis semak lainnya

Dalam perjalan pulang, kami mengabadikan lagi beberapa momen berharga di sepanjang jalur menurun. Walaupun pendakian ini tidak sampai ke puncak Kerinci, karena adanya larangan untuk mendaki gunung tertinggi di Sumatera yang saat itu tengah berada dalam status Waspada II tersebut, juga karena bukan itu tujuan utamanya, tapi kami—terutama saya—merasa sangat puas sekali. Mudah-mudahan saat projek penelitian kami ini selesai, kami bisa mendaki gunung nan “seksi” ini lagi nanti.

Petualangan di sisi selatan Taman Nasional Kerinci Seblat

Dua hari sudah kami menginap di tempat Pak Subandi dengan segala bentuk keramahan ala Homestay tersebut, akhirnya kami meneruskan perjalanan kembali ke beberapa lokasi lain yang ada dalam daftar “lokasi penelitian potensial”-nya Mpok Fang. Sabtu pagi, setelah menyantap makan pagi dan membayar semua biaya penginapan, makan dan jasa birdwatching, kami menuju ke arah Sungai Penuh kembali. Kemudian berbelok ke arah barat dari kota tersebut menuju ke Tapan, Sumatera Barat. Sebenarnya bukan menuju ke kota tersebut, tapi kami berniat untuk melawat ke beberapa titik di sepanjang sisi selatan TN Kerinci Seblat. Dengan berbekal GPS yang cukup update dengan satelit nun di atas sana, Mpok Fang memantau ketinggian tempat yang dilalui. Karena perjalanan dari Sungai Penuh ke Tapan merupakan perjalanan menurun, jadi kami menuju ke titik terendah terlebih dahulu, sebelum nanti kembali ke arah semula menuju Sungai Penuh lagi.
Menjelang perbatasan kawasan hutan rakyat (yang sudah beralih fungsi dari hutan menjadi perladangan yang terbuka) dengan kawasan TN, kami disuguhi pemandangan yang sangat aduhai yang sering membuat si Mpok Fang berdecak kagum. He he he.. Gini-gini, saya jadi bangga juga negeri kita yang sekarang morat marit akibat berbagai bencana dan kehidupan politik yang juga gak kalah semrawut nya dikagumi oleh banyak orang luar negeri.. Hhhhhh…..
Hutan primer TNKS bagian selatan. Masih ijo royo-royo. Seger-seger....
Setelah melewati gerbang perbatasan TN yang ditandai dengan gapura berlambang PHKA (sebatang pohon yang saya juga kurang tau apa jenisnya) dan dijaga oleh seekor harimau (patungnya doing, dengan keadaan yang agak memprihatinkan—ekor retak, telinga dua-duanya ilang, dan proporsi tubuh yang agak kurang seimbang), kami lebih berdecak lagi, karena hutan yang makin lebat melebihi lebatnya ketek actor-aktor Hindustan di film-film Bollywood. Khu khu khu.. Untung saja bagian hutan yang ini dilindungi oleh Undang-undang sebagai kawasan Taman Nasional. Kalau tidak, tentu kapak dan chainsaw para penebang kayu illegal udah lama membabat kawasan ini. Hembusan angin semilir yang masuk lewat bukaan kaca mobil pun meniupkan udara yang teramat segar. Gak bayar. Bisa dihirup sepuas-puasnya dan sesukanya, semampunya.. Hmmmmmmmmmmmm….
Simbiosis unik semut dan tumbuhan inangnya yang mengembangkan bulb khusus di setiap cabangnya. Keunikan yang dapat ditemukan di hutan kawasan TNKS
GPS si Mpok pun akhirnya menunjukkan angka 800an meter lebih dikit. Pertanda kami udah harus mencari sisi tebing bebukitan TN yang bisa dijelajahi untuk menguji kembali ke-mobbing-an para burung-burung kecil yang ada di sini. Ide praktis yang muncul adalah mencari anak-anak sungai yang mengalir, karena biasanya di sepanjang aliran tersebut ada jalur yang tidak ditumbuhi oleh vegetasi hutan ini. Oke, si Mpok setuju wae.. Kami berdua sekarang yang turun ke lapangan (atau lebih tepatnya naik ya? Kan kita mendaki lereng bebukitan di sini). Pak Edi sang supir menunggui mobil..

Di lokasi pertama yang berketinggian sekitar 860an meter ini, kami memasang semua perangkat keras dan lunak percobaan mobbing si Mpok. Tapi sayang sungguh disayang, usaha keras kami untuk mendaki tebing lereng perbukitan ini, sampai-sampai pinggul saya dihinggapi pacet nakal, cemong-cemong semua tubuh karena bergelimang dengan lumpur dan tanah, tidak membuahkan hasil. Tidak ada burung yang bereaksi dengan rangsangan mobbing yang kami berikan. Juga kehadiran Mr. Owlet, nama yang kami berikan pada figuran Glaucidium ini, yang berdiri gagah di dekat speaker yang terus meneruskan melantunkan melodi “Pu.. Pu-pu” selama 10 menitan tersebut tidak mampu meningkatkan rangsangan ber-mobbing ria bagi para burung-burung kecil tersebut. Hhhhh…

Di sekitar lokasi ini kami temukan bekas pondok para penebang kayu ilegal.. Waahh, jadi geram juga mengetahui di dalam kawasan yang seharusnya dilindungi untuk kepentingan bersama ini masih ada orang-orang yang masih nekad mencuri kayu.. Dengan alasan apapun... Duh, mudah-mudahan mereka disadarkan bahwa merusak hutan sangat tidak baik untuk dilakukan...
Pondok pembalak liar di dalam kawasan TNKS bagian Tapan

Kami turun kembali ke mobil dengan sedikit gontai. Mobil dijalankan kembali ke arah Sungai Penuh, berhenti pada saat GPS menunjukan angka ketinggian tempat sekitar 900 meter dari permukaan laut. Di sini sungai yang kami susuri untuk meletakan settingan percobaan mobbing cukup besar dan datar. Pada percobaan kedua ini, dua ekor Pycnonotus leucogrammicus Nampak bereaksi. Tidak seheboh seperti di Gunung Kerinci, tapi cukup mengisyaratkan bahwa kemungkinan Glaucidium brodiei mulai ada dari ketinggian ini. Percobaan selanjutnya di ketinggian sekitar 1000an meter kembali tidak membuahkan hasil. Akhirnya kami memutuskan untuk makan siang dulu, sebelum kembali ke Sungai Penuh. Makan siang di tugu perbatasan TN yang ada patung macan itu, dengan bekal yang sudah dibeli sebelum berangkat tadi pagi. Sehabis makan, kami memutuskan untuk melihat satu site lagi, yang berada di Ranah Kayu Embun. Jaraknya kira-kira 10 km dari pusat kota Sungai Penuh.
Berfoto di patung harimau dekat gerbang TNKS Sungai Penuh-Tapan
Di sini hanya kekecewaan yang kami temui. Hutan yang ada di sepanjang barisan perbukitan tersebut sudah sangat terfragmentasi dan tidak primer lagi. Di samping itu, pekerjaan pelebaran jalan menuju ke Puncak Khayangan yang menjadi lokasi kongkow muda-mudi sambil melihat pemandangan kota, gunung dan danau Kerinci sangat mengganggu kelancaran perjalanan. Kami juga tidak bisa sampai ke batas hutan yang dimaksudkan, karena pada kilometer kesekian, bulldozer yang menghambat di tengah jalan masih berusaha memindahkan segundukan tanah yang rasanya tidak akan selesai dalam sejam dua jam ini dipindahkan. Udahlah, kami balik lagi ke Sungai Penuh. Memutuskan untuk beristirahat di kota ini, sebelum melanjutkan perjalanan besok paginya menuju ke Padang Aro untuk masuk kembali ke kawasan PT. AMT dan melanjutkan percobaan mobbing di beberapa block logging yang sebelumnya tidak sempat kami lakukan… 

AMT Tahap Dua

Kami masuk ke kawasan AMT pada keesokan harinya. Melewati kembali jalanan berbatu sejauh 10 kilometer dari pusat kota Padang Aro. Kembali disambut di camp riset dengan orang-orang yang sama. Kali ini ditambah dengan salah seorang manejer bagian konservasi, Pak Sigit namanya. Orangnya masih muda, sekitar 40 tahunan. Dia lulusan kehutanan IPB Bogor. Cukup senang juga ngobrol dengannya, karena mengetahui hal-hal penting tentang kawasan AMT yang kami perlukan. 


Sesuai dengan yang sudah kami rencanakan dahulu, kami ingin mencoba mengetes kembali beberapa block bekas logging yang berada di KM 19 kawasan HPH tersebut. Pak Sigit pun mengijinkan kami untuk menggunakan mobil jip hardtop doubel gardan milik perusahaan. Dengan itulah kami menyusuri jalanan logging dengan lebih leluasa, karena lebih tangguh. Sesekali harus menepi, bila bertemu dengan truk loader yang membawa kayu log. Truk-truk ini biasanya gak mau ngalah, maklum beban berat yang dibawanya tidak memungkinkan untuk berlama-lama berdiri di jalanan yang konturnya menanjak dan menurun dengan tajam tersebut.  Eh, di sebuah sungai besar yang kebetulan kami lintasi, ternyata banyak juga usaha penambangan emas liar yang dilakukan oleh penduduk secara tradisional. Duuh, gimana sih ini...

Truk loader. Yang lain harus minggir. Bos lewat..
PETI di dalam kawasan AMT


Akhirnya kami sampai di KM 19. Kami ditemani Anto dan Teti. Teti ini kerja di bagian sosial camp AMT. Masih muda juga. Seturun dari jip hardtop yang mengantar, kami segera berjalan mendaki jalan bekas logging dengan kontur jalanan yang langsung terjal. Sejauh kurang lebih 1 km berjalan mendaki (dan ngos-ngosan tentunya), kami mulai masuk ke dalam hutannya. Kemudian mencari tempat yang bagus untuk kembali mencoba memasang Mr. Owlet dan perangkat mobbing. Pada tempat dengan ketinggian 800 m, tidak ada yang mendekati Mr. Owlet, walaupun suara "Pu..Pu-pu" diputar selama lebih dari lima menit...

Menyusuri jalan bekas logging di KM19

Si Mpok pun mengajak kami untuk pindah ke tempat yang lebih tinggi lagi. Jadi, harus ngos-ngosan lagi mendaki setinggi 100 m untuk mencapai ketinggian ideal tersebut. Di sini, kami memasang kembali si Burung Hantu imut.. Dan ternyata, berhasil... Ada tiga jenis yang mendekat. Chloropsis cochinchinensis, Aethopyga temminckii dan Anthreptes simplex. Walaupun tidak sehisteris jenis-jenis yang mobbing di Gunung Kerinci, tapi dua jenis yang pertama cukup aktif di menit-menit pertengahan sampai akhir pemutaran suara. Satu jenis lagi, Pycnonotus cyaniventris datang agak telat setelah suara Mr. Owlet berlalu. Tapi gak apa, yang penting saya dapat beberapa pose yang cukup bagus. Juga ketika mau melanjutkan berjalan ke ketinggian selanjutnya, kami mengamati beberapa ekor Iole olivacea lagi mandi di sungai kecil yang mengalir di tebing bukit... Jepretan pun dilayangkan untuk mengabadikannya.. Wuiihhhh....
Temminck's Sunbird Aethopyga temminckii
Blue-winged Leafbird Chloropsis cochinchinensis
Grey-bellied Bulbul Pycnonotus cyaniventris lagi makan buah berry liar
Buff-vented Bulbul Iole olivacea baru saja mandi...

Sampai akhir hari itu, kami hanya bisa mencapai ketinggian 1050 meter saja. Di ketinggian itu ketemu satu jenis lagi yang juga melakukan mobbing. Dua individu Brinji Kelabu Hypsipetes flavala terlihat cukup termotivasi untuk melakukan mobbing dengan suara si Mr. Owlet.. Tapi tidak begitu agresif. Hanya berkeliling di bagian kanopi, jauh di atas figuran Mr. Owlet. Jenis inilah yang menutup sore kami sebelum kembali ke camp lagi. Ndongkreng dengan jip hardtop-nya AMT tentunya... 
Ashy Bulbul Hypsipetes flavala


Malam itu, camp sunyi senyap, karena genset yang rusak dan belum diperbaiki. Bayangkan saja, tiga buah genset yang ada di sana, termasuk satu genset besar yang bisa dipakai dari sore sampai pagi lagi, rusak... Kami sih gak apa-apa gelap-gelapan begitu.. Tapi kan sayang juga barang udah dibeli mahal-mahal gak kepake.. Mungkin kalau kita nanti jadi meneliti di sana, semua genset yang ada sudah kembali berfungsi...


Besok paginya, kembali kami bersiap-siap untuk ke lapangan. Rencana awal untuk mengunjungi blok lain yang kemungkinan masih mempunyai hutan primer. Tapi karena Pak Sigit bilang kalau untuk mengunjungi lokasi yang dimaksud tersebut butuh persiapan yang lebih matang serta kemungkinan akan bermalam, membuat kami mengurungkan niat ke blok yang dimaksud. Walhasil, kami kembali mengunjungi blok di sekitar KM19. Cuma kali ini sedikit mengambil lokasi yang lebih memutar dan dengan ketinggian yang lebih dari yang kemaren. Selain Anto, yang menemani kami sekarang ditambah dengan dua orang mahasiswa internship yang magang di bawah pengawasan Pak Sigit..


Sampai dengan ketinggian 1000 meter lebih, tidak ada jenis burung yang benar-benar terpanggil untuk melakukan mobbing dengan suara Mr. Owlet. Kami terus menyusuri bekas jalur logging yang sudah ditumbuhi pohon-pohon sekunder. Katanya, jalur ini dulunya dipakai oleh tim dari Fauna dan Flora International (FFI) yang melakukan survey kekayaan jenis hewan mamalia dengan menggunakan camera trap.. Jalur tersebut akhirnya menuju ke salah satu puncak bukit. Di sanalah mobbing experiment terakhir kami lakukan. Dan hanya satu jenis yang datang, itupun pada menit-menit terakhir playback dilakukan. Jenisnya adalah Cikrak kutub (Phylloscopus borealis). 
Arctic Warbler Phylloscopus borealis peserta mobbing paling terakhir


Setelah makan siang, plus dengan cerita-cerita tentang berbagai hal seputar camp dan orang-orang AMT dengan Anto, Jian dan Al, kamipun kembali menuju tepi jalan, menunggu jemputan. Tapi saya dan si Mpok duluan pulang, naik truk loader yang kebetulan lewat. Hanya dua orang yang bisa naik ke ruang kemudi truk, karena sudah ada sopir dan keneknya. Sedangkan untuk naik ke bagian belakang yang diperuntukan untuk kayu log hasil tebangan, tidak diperbolehkan... Hhhhhhhh... Itulah pengalaman pertama saya menaiki truk sebegitu besar... Menegangkan, sekaligus menyesakkan, karena udara yang panas, truk yang berjalan dengan lambat menaiki dan menuruni jalan perbukitan yang terjal serta keadaan kami berjejalan di dalam ruang kemudi yang cukup sempit... Tapi, menurut saya dan si Mpok, ini tetap pengalaman yang sangat mengasyikan... 


Sesampai di camp, kami pun beristirahat sejenak sebelum mandi dan bersih-bersih serta packing barang-barang kami. Hari itu juga kami akan kembali menuju ke Padang. Setelah berfoto bareng dengan beberapa orang staf AMT dan mahasiswa internship di sana, kamipun berangkat. Sudah cukup seminggu kami berkelana ke sana ke mari, mencari pengalaman dan ilmu pengetahuan, berjumpa dengan banyak orang serta tentunya mengamati salah satu ciptaan Tuhan yang sangat menakjubkan: BURUNG...
Foto bareng dulu sebelum kembali ke Padang Kota Tercinta