Total Tayangan Halaman

Jumat, 05 Agustus 2011

Tradisi Bercerita ..... Part of Biokonservasi Practicing



... Sedikit keluar dari mainstream utama blog yang awalnya saya rencanakan untuk masalah perburungan ini... Saya pengen membagi sedikit cerita yang tersisa dari dua tahun lalu saat memandu praktikum Biokonservasi di jurusan Biologi Universitas Andalas yang menjadi tempat bernaung saya... 




Mendongengkan cerita kepada anak saat mereka akan tidur dipercaya memberikan peningkatan pada kemampuan kognitif anak, termasuk juga membuat mereka lebih peka terhadap situasi emosional di sekitarnya... 


Kutipan kalimat di atas memberikan inspirasi bagi saya untuk memasukkan tradisi bercerita ini ke dalam salah satu mata kuliah yang saya asuh beberapa waktu lalu, BIOKONSERVASI.. Materinya simpel saja, yaitu mewawancarai orang-orang tua terdekat dengan mahasiswa yang mengambil mata kuliah dengan saya ini, kemudian mewujudkan hasil wawancaranya dalam bentuk essay singkat.. Hasil yang masuk bermacam-macam, mulai dari yang sekedar berupa laporan wawancara, sampai kepada yang benar-benar "nyeni" dan menyajikan hasil wawancaranya dengan cara seperti orang bertutur... Saat membaca hasil laporan dari tipe yang terakhir ini, saya sampai benar-benar tercenung, bahwa mungkin benar bahwa seniman itu gak harus lahir selalu dari sekolah seni... Ia dapat muncul dari berbagai kalangan masyarakat, yang menyikapi lingkungannya dengan caranya yang mendalam...




Salah satu dari sedikit cerita yang saya pikir cukup mengena di hati tersebut, saya sajikan sesuai dengan naskah aslinya.. Hanya sedikit memperbaiki redaksional dan koreksi untuk kapitalisasi plus suntingan gambar-gambar yang saya tambahkan dari berbagai sumber di internet, supaya kesannya gak monoton tulisan doang... 


Dikirim oleh Daniel Gusrianto, salah seorang mahasiswa saya dengan nomor BP 07133005... Silakan disimak...



Once…
Just a dream
  
Saat nafsu tak mampu untuk dikekang,
Maka tunggulah kehancuran akan menimpa

19 Maret 2010.

Hari yang cerah,.. seperti biasa.  Aku mengikuti praktikum mata kuliah biologi konservasi yang merupakan salah satu mata kuliah wajib di jurusan yang tengah ku tempati- Biologi. Meskipun waktu praktikumnya sampai 2-3 jam yang berarti melebihi jumlah total sistem kredit semester (SKS) yang hanya satu SKS. Namun, praktikum dari mata kuliah ini tidak begitu membuatku repot, sebab hal-hal yang dipraktikkan tidak begitu ribet. Walhasil membuat hatiku cukup senang menjalaninya J.
Sekitar pukul 17.00 WIB, praktikum ini akan usai. Dan waktunya koordinator praktikum atau asisten memberikan pengumuman, baik pengumuman tentang praktikum yang akan datang, maupun tentang tugas-tugas yang musti dipenuhi atau tentang hal-hal lainnya.
Disaat koordinator praktikum berdiri di depan para praktikan. Beliau siap dengan instruksi/ mengumumkan tugas yang harus dibuat. Tugas kali ini cukup menarik yang temanya yakni tentang ‘ konservasi di pandangan mata masyarakat’ atau tema yang senada dengan itu.
Pelaksanaan dari tugas yang akan dibuat dalam file word ini adalah “mewawancarai” nara sumber yang dicari sendiri oleh para praktikan. Sangat dianjurkan nara sumbernya yang telah berumur lebih atau sama dengan 50 Tahun. Hal ini tentunya bertujuan untuk melihat pengetahuan yang dimiliki oleh orang yang mau diwawancarai yang berkaitan dengan hal konservasi makhluk hidup. Apakah mereka  mengetahuinya atau tidak.
Hmm… tugas yang lumayan mengA-six-kan… pikirku ^_-
_dg_

Hari Rabu depan merupakan akhir dari pengumpulan tugas ini. Berarti deadline yang diberikan untuk menyelesaikan tugas ini ialah dua hari menjelang praktikum selanjutnya dimulai atau kurang lebih selama enam hari.
Dalam masa tenggang waktu tersebut, berarti aku harus bekerja secepatnya untuk merampungkan tugas ini supaya tidak tergesa-gesa nantinya , karena tugas dari mata kuliah lainnya juga ikut ngantri untuk menantikan giliran untuk diselesaikan.
_dg_

Dengan berbekal tekad, semangat, dan kepercayaan diri yang mantap. Pada keesokan harinya (20 Maret 2010) setelah pengumuman tugas diberikan. Aku langsung mencari responden sebagai nara sumber buat membantuku dalam menyelesikan tugas ini.
Lama ku berpikir, siapakah gerangan yang cocok untuk menjadi “mangsaku” saat ini. Otakku terus dan terus bekerja dan berusaha mencari orang yang tepat untuk aku wawancarai. Lama… L
Setelahku buka file-file yang tersimpan didalam data memori otakku yang selama ini memuat daftar nama-nama orang serta “jalinannya” dengan diriku, akhirnya kutemukan sasaran itu…
Mudah-mudahan tidak salah pilih…
Abak… ya… Abak Uwan. Itulah hasil pencarian otakku. Abak, beliau adalah kakekku sendiri. Orang tua laki-laki dari pihak ibuku.

Setelah hatiku “terpaut- menetapkan pilihan” pada Abak (panggilan sayang dari para cucu). Aku langsung mencari. Biasanya siang seperti ini beliau berada di rumah. Kucari… belum ketemu. Kutanya Dedek, sepupuku, dia juga nggak tahu. Panjang waktu yang kuhabiskan untuk bolak-balik “mengitari” rumah. Tetapi, yang dicari belum juga menampakkan batang hidungnnya. Bak seorang pujangga, lisanku menggumamkan lafaz “Hmm… kutunggu, pasti datang”
Hening -_-
_dg_

Memang aneh, bila sesuatu hal yang ingin diraih segera, menunggu sejenak bagaikan menunggu dalam kurun waktu yang lama. Namun, bila hal yang menakutkan tengah dinanti-nanti, waktu yang lama bagaikan hanya semenit. 
Rasa itulah yang menyertaiku ketika aku menunggu kedatangan Abak mau diminta ‘keterangan’ soal konservasi. Aku tak tahu dimana beliau sekarang berada. Kulihat jarum jam yang setia menempel di dinding. Seolah tak bergerak atau berhenti berputar. Padahal sesungguhnya ia masih berputar seperti sediakala. Ah… perasaanku. Benar adanya Waiting is boring-ting: menunggu adalah hal yang paling membosankan L.
Kuberanjak pergi meninggalkan ruangan yang biasanya ditempati Abak untuk menjalani berbagai aktivitas beliau sehari-hari sebagai carpenter. Kulangkahkan kaki menuju kamar. Sewaktu jemariku mulai menyentuh gagang pintu. Sayup-sayup membran tympaniku menangkap sinyal suara langkah kaki seseorang menuju ruang depan. Hatiku penuh harap. Degup jantungku tak konstan.
Tanpa ba-bi-bu langsung kubawa langkahku kearah sumber suara. Harapanku yang memuncak ingin bersua Abak pupus sudah. Karena ketika ku coba membuka pintu ruangan depan. Tak kudapati siapa-siapa—indra penglihataku tak menangkap bayangan orang. Tetapi, telingaku masih mendengar suara langkahan kaki. Kucoba lagi mencari sumber suara. Wele-wele… ternyata Cuma halusinasiku saja. Tak ada apapun dan siapapun.
Kukecewa. Kekecewaanku ku bawa bersama mimpi indah dalam istirahat siangku (Zzz…).
_dg_

Ba’da maghrib kudapati Abak telah duduk di bangku kesayangan beliau di depan TV. Dengan kebijaksanaan yang beliau miliki seolah tahu akan pikiranku, beliau memberikan penjelasan bahwa tadi siang beliau go out to get air fresh. Itu hanya istilahku saja yang menyatakan bahwa Abak sedang pergi bersilatuhrahim ke rumah Uwan- adik laki-laki ibuku (Mamak).
Laksana seorang pangeran yang membujuk rayu sang putri supaya beranjak dari peraduannya-mau bangun tidur. Ku hampiri Abak. Aku duduk disamping beliau yang tengah berkonsentrasi pada program acara salah satu channel TV di nusantara ini.
Selaku seorang cucu yang baik. Aku bersikap manis. Aku menyadari bahwa sopan~bersikap baik terhadap orang tua adalah perbuatan yang mulia. Selain itu juga aku sadar bahwasannya yang kuhadapi saat ini adalah sesuatu hal yang serius-sesuatu hal yang menyangkut nilai akademikku.
_dg_
Sejenak, suasana sunyi tercipta. Yang ada hanya suara yang bersumber dari speaker TV di depan kami- aku dan Abak, serta diiringi oleh nyanyian sendu sang jengkrik dan kodok memohon turunnya hujan dari langit yang berawan di luar sana.
Berawal… aku mulai berbasa-basi dengan Abak tentang perjalan yang beliau jalani siang tadi. Suasana akrab yang memposisikan diri Abak agar cucunya betah lama bersamanya selalu beliau jaga. Hal ini memberi peluang besar untukku bertanya seputar pengetahuan-pengalaman sang Abak dalam bidang konservasi.
Supaya tidak kaku dan terlalu gugup. Tentunya aku akan bertanya dan menggali pengalaman Abak tentang konservasi dengan bahasa yang mudah beliau pahami. Semisalnya, saat aku mulai bertanya dengan menggunakan kata konservasi, kuganti dengan kata perlindungan atau kata-kata yang bersinonimkan dengan hal yang ku maksud.
“Hmm… Bak, aie gadang yang ada di kampung awak tu apa namanya ya?”
Suasana yang hening ku pecah dengan pertanyaan perdanaku. Kupikir pertanyaanku termasuk kategori pertanyaan yang bodoh. Bagaimana tidak, coba. Bukannya aku tak tahu apa nama sungai yang mengalir di tanah kelahiranku. Namun, aku hanya sekedar ber-ba-bi-bi, membuka wacana (he…he…) :D
Kupandangi mimik wajah Abak yang agak kaget dengan “tembakkan” pertanyaan yang kulontarkan. Aku sengaja tidak bermukadimah terlalu panjang terhadap beliau tentang maksud dan tujuan yang ingin kucapai-tugasku ini, agar beliau tidak merasa di “tokohkan” sebagai nara sumber dalam sebuah wawancara yang resmi, juga dari akunya sendiri tidak hendak dengan suasana yang formal-formal yang hanya akan membebaniku sendiri.
Sekilas, kulihat Abak menatapku. Simpul senyum terhias di wajahnya yang mulai berkerut-keriput. Beliau kembali focus pada TV yang sedari tadi tak henti-hentinya berkoar-koar. Sedang aku terus menunggu jawaban- ya, sebuah jawaban. Kudengar kemudian dari lisannya Abak meluncur sebuah jawaban yang kunanti-nanti.
“O… itu, tu… Batang??? Anu…”
Beliau kembali berpikir seolah mengingat-ingat sesuatu yang telah lama luput dari ingatan
“O… ya, Batang Suliti”
Senyum simpul diwajah mengembang hendak berubah menjadi tawa lucu. Aku mengangguk-angguk atas jawaban yang dipersembahkan buatku yang sebelumnya telah kuketahui… (ketipu… he…he).
Di dalam hati aku tertawa riang. Geli rasanya.
Pas… Batang Suliti. Hatiku tersenyum membenarkan ucapan Abak. Di atas kepalaku menari-nari bayangan Batang Suliti. Salah satu sungai yang melintasi banyak Korong desa di kampungku. Sungai ini membujur-membelah hampir semua daerah yang ada di kecamatan Koto Parik Gadang Diateh (KPGD) dan kecamatan Sungai Pagu, Muara Labuh—Solok Selatan. Sungai berhulukan di Korong Suliti. Dari sini, sungai tersebut mengalir tenang bagai anak dara menjemput marapulai (e… salah, nggak?) hingga akhirnya akan menyatu dengan Batang Bangko di Daerah Koto Baru- SolSel dan terus mengalir dan bertemu dengan Batang Hari Yang berhulukan di Danau Diatas, Alahan Panjang-Kabupaten Solok.
Dari Abak, saat ditanya tentang jenis-jenis hewan yang ada dan yang mulai jarang ditemukan di sungai ini didapat keterangan bahwa telah banyak hewan-hewan di sungai ini yang sangat jarang untuk didapati. Bahkan tak ada sedikitpun, kalaupin ada, hewan seperti ikan telah mengalami penyusutan ukuran. Abak menambahkan jenis hewan yang ada dahulu sangat banyak, tetapi untuk saat ini jumlah yang ditemukan sangat sedikit. Di antaranya ialah Ikan Gariang, masai, dan limbek (ketiga jenis ikan ini sudah teramat jarang ditemukan~punah untuk daerah ini).
“Dahulu ikan tersebut sangat mudah untuk menemukannya, namun saat ini sukar ditemukan. Jangankan untuk mendapatkannya sebagai konsumsi, melihatnya pun sulit” tutur Abak berwibawa.
“kira-kira penyebabnya apa ya Bak?”
Tanyaku merendah.
“Ya,,, itu… tu pemakaian Putas (alat setrum yang dialiri listrik yang digunakan untuk menangkap ikan secara instan) yang tak terkendali, sehingga benih-benih ikan yang belum layak makan juga ikutan mati termasuk hewan sungai lainnya”
“Ndak ado yang managahannyo Bak”
Wee… bahasa minangku meluncur.
“Ada… pernah ada peraturan yang berisikan larangan menangkap ikan menggunakan putas. Tetapi warga kampung kurang menghiraukan ajakkan ini. Sampai akhirnya peraturan tersebut menghilang laksana angin berlalu begitu saja…” jelas Abak agak ketus.
Aku terdiam, setelah Abak memberi tahuku  tentang ciri-ciri ikan yang jarang didapati tersebut. Aku teringat masa laluku. Aku terbang terbawa nuansa nostalgia ke beberapa belas tahun silam. Ketika itu hujan lebat baru mengguyur bumi persada. Tanah becek, sungai meluap. Saat itulah warga kampung dibikin heboh dikarenakan ada seseorang warga mendapatkan seekor ikan limbek dengan ukuran yang besar yang terbawa bersama jaring (jala) yang dia punya. Ikan tersebut didapatnya Di Batang Suliti. Orang berbondong-bondong melihat ikan “langka” tersebut. Seolah mereka menemukan barang yang selama ini hilang dibawa masa. Padahal, sebelum penggunaan putas merak. Ikan tersebut mudah untuk diperoleh.
Aku prihatin :/
_dg_

Kembali aku bertingkah bodoh dan melanjutkan pertanyaan pada Abak yang sangat bersemangat dalam menjawab pertanyaan yang kuajukan.
“Selain putas. Kira-kira apalagi penyebab banyaknya jenis hewan sungai ini mulai jarang dilihat, Bak?”
Tanpa pikir panjang. Dengan lancar (???) Abak memberi keterangan padaku bahwa yang menjadi sebabnya adalah pendangkalan sungai dikarenakan aktivitas warga kampung yang sembarangan menebang hutan guna memenuhi kebutuhan mereka . sehingga tidak ada lagi yang mampu menahan air hujan yang turun. Akibatnya air mengalir deras bersama bebatuan menuju sungai. Hingga akhirnya sungai menjadi dangkal. Oleh karena itulah, lubuk-lubuk tempat hidupnya berbagai jenis hewan termasuk ikan menghilang seiring  habitatnya sirna.
Aku menghela napas panjang. Ingatanku membawa aku pergi bersama angan ke kampung halaman. O… itulah sebabnya aku tidak lagi menemukan lubuk yang dalam buat mandi bercimuk dalam sungai sewaktu pulang kampung lebaran kemarin.
­_dg_
“Wawancara” semakin menarik, inginku lanjutkan pertanyaan pada Abak tentang Hewan/tumbuhan yang “hilang”. Belum sempat ku mengajukan pertanyaan yang hendak keluar lewat mulutku. Abak kembali menjelaskan.
“Tu… baluik (belut)… kan lai tau ang ndak? Payah kini di cari”
Tanya Abak retoris.
Anggukan pelan ku-actingkan di hadapan Abak, menyatakan bahwa aku tengah menyimak penjelasan yang beliau paparkan.
“Benar juga ya… Saat ini belut sukar didapat” batinku.
 Dahulu… tempoe doeloe, menjelang dini hari yang gelap aku dan teman-teman se-gank-ku hobinya menangkap belut di keramangan malam. Ditemani petromaks dengan cahaya seadanya, kami bersemangat bermain lumpur sawah tempat kami mencari “mangsa”. Terkadang saking bersemangatnya, sampai-sampai kami tidak tahu bahwa yang kami tangkap juga ular tanah yang juga aktif malam hari, bergurau dengan kawanan belut-‘teman mereka. Kami baru menyadari yang kami tangkap adalah salah setelah kami membongkar hasil tangkapan siap disajikan dalam bentuk makanan lezat (hiy…). Tapi, saat ini… mangsa kami (belut) menghilang sudah…
“Semenjak pengolahan sawah dibantu dengan ‘mesin bajak’. Sawah-sawah ikut tercemar karena bahan bakar yang dipakaikan, sehingga belutpun ikut berduka-mati”. Jelas Abak.
“Iyo nak Bak, kalo pakai jawi(sapi) atau kabau (kerbau) tantunyo karajo lamo. Tapi kalo la pakai masin, karajo awak makin capek… nak bak!!” tambahku dengan nada yang khas pas diakhir kalimatku. Abak mengiyakan tuturanku. Tampak rasa senang bergelayutan di wajahnya.
Kembali Abak focus pada tontonan beliau. Ku beri kesempatan sedikit untuk abak untuk menikmati lagi lantunan acara yang terpampang di layar TV. Acara headline news miliknya Metro TV berdisko di wajahku. Kemudian, iseng ku coba “hajar” beliau dengan pertanyaan lain. Dengan gaya sok laksana seorang sufi yang lagi merenung, aku sedikit berpikir, pertanyaan apa yang mungkin untuk aku “beberkan”.
Hmm… yes.! Batang Lolo, Batang Limpauang. Semuanya ialah nama jenis tumbuhan yang dipasangkan dengan nama beberapa Korong yang ada di daerah kabupaten solok selatan. Ku berharap Abak bias menjelaskan kenapa nama tumbuhan itu yang ditempelkan buat Korong yang ada tersebut. Kenapa tidak nama Apel atau Anggur untuk menyebut nama Korong itu? Pikirku.
Ba’da pertanyaan ku ucapkan. Abak mulai bersejarah. Beliau berkisah bahwa nama Korong tersebut dikasih nama tumbuhan sebab di Korong itu ditemukan jenis tumbuhan yang bersangkutan.
“Baitulah caro inyiak moyang awak dulu kalau maagiah nama nagari” lanjut abak dengan bahasa Minang tulen yang lagi-lagi dengan logat yang khas. Aku melongo. Beliau paham. Tanpa diminta Abak bersabda.
“Inyiak awak dulu barasa dari Pagaruyuang nan disabuik inyiak anam puluah kurang aso. Di sabuik baitu karano jumlah mereka 60 urang kurang ciex. Nan ciex tu hilang di Korong nan kini dinamokan jo Korong Pisau Ilang (salah satu Korong yang termasuk dalam wilayah kecamatan Pantai Cermin, Solok)” sejarah Abak menggebu-ngebu.
“Apakah tumbuhan tersebut masih ada Bak?” tanyaku polos. Jujur aku tak pernah kenal dengan tumbuhan yang namanya Batang Lolo dan Batang Limpauang.
“Kini sudah sangat jarang. Mungkin disini tak ada lagi”
“Kalau Batang (kayu) Surian?”
Kutahu Surian itu adalah sejenis pohon yang berguna untuk bahan bangunan. Selain itu surian juga termasuk salah satu nama Korong yang ada di kecamatan Pantai Cermin.
“Kayu surian agak banyak”
“Apakah abak tahu kegunaannya?”
“Taulah… untuk buat rumah juo!!”
Agar diskusi makin menarik, Kembali memori otakku mencari-cari nama daerah yang dikaitkan dengan nama tetumbuhan. Yes… eureka!! Hatiku berteriak. Batang Pulai. Nama korongnya Pulai Condong
 Kutanya apakah beliau tahu? Beliau menjawab tahu.
Wah… a-six… J. Kulihat gerak jarum jam dinding telah menunjukkan hampir dini hari. Sebenarnya aku mulai mengantuk. Tetapi, disebabkan diskusi ini sangat penuh penasaran, kantuk yang menderaku hanyut dibawa aliran cerita dan kisah-kisah “lucu” versiku.
_dg_
Aku mau Abak berkisah tentang hewan-hewan yang tidak lagi ditemukan. Khususnya di kampung beliau yang juga kampungku. Pucuk dicinta ulampun tiba. Kuajukan permohonanku pada Abak. Abak yang lahir tahun 1932-an ini berkisah tentang pemberontakkan kawanan gajah ke kampung-kampung (sekitar tahun 1950-an). Kawanan gajah itu memberontak dan meluluhlantakkan rumah-rumah penduduk di salah satu daerah di Solok Selatan, sebab mereka merasa terganggu oleh aktivitas manusia (warga) yang mulai merusak habitatnya.
“Ang lai mancaliak tulang-tulang gadang nan basuo di Balun, kan?”
Abak bertanya padaku. Pertanyaan itu membuatku ingat akan peristiwa yang terjadi tahun 2004 lalu. Dimana, salah seorang petani dari Korong Balun (SolSel) menemukan tulang belulang yang berserakkan di hamparan sawah garapannya. Benda-benda aneh itu didapatnya secara tidak sengaja saat ia memangkul sawahnya. Kalau dilihat dari bentuknya, tulang-belulang itu mustahil milik manusia. Kalupun iya, barangkali manusia tempoe doeloe. Tetapi, masyarakat menduga itu adalah miliknya gajah. Cerita makin hangat apalagi Abak sangat pandai membumbuhinya dengan mitos-mitos sezamannya.
“O… ya. Iya aku tahu”. Jawabku atas pertanyaan Abak. Beliau menceritakan hal ini sebagai pembuktian bahwa telah terjadinya pemberontakkan dari kawanan gajah ke pemukiman warga. Namun, sekarang aku tak tahu lagi keadaan tulang yang pernah ditemukan itu.
Mataku menoleh TV yang masih nyala. Abak pun ikut mengarahkan pandangannya ke TV. Disana—dilayar TV tengah diberitakan suasana banjir yang melanda sebagian besar wilayah di tanah air ini. Ku curi kesempatan. Kutanya lagi Abak yang kembali berkonsentrasi pada tontonannya.
“Bak, menurut Abak usaha yang dilakukan supaya mengurangi atau mencegah tercipta banjir apa ya Bak?”. Maksud dari pertanyaanku sebetulnya ialah apa usaha kita (Abak) dan masyarakat supaya bergiat dalam bidang konservasi? Itu kira-kira.
Sebelum sampai pada jawaban yang ku mau. Abak menguraikan sedikit kata-kata bijaknya, “Itulah… nafsu yang bila tak terkekang, semaunya menebangi hutan. Sehingga jelas tampak kerusakan dimana-mana”.
“Jadi…?!” desakku. “Ndak ang caliak, nan ado di Ladang Padi tuh?!”. Maksud Abak yakni Hutan Raya Bung Hatta sebagai salah satu usaha konservasi. Dari perlindungan hutan disana diharapkan dapat mencegah terjadinya banjir.
“Kalau kita tebang gimana Bak?”. Pancingku, Abak menyahut, “Kalau TaHuRa itu kita babat. Banjir banjir pastinya akan melanda kota ini (Padang)” tegas Abak yang mulai mengantuk pula.
“Lain dari itu? Apo lai Bak?”. “itu..tu yang ada di Sungai Penuh… tuh a”. Dialek khas minang muncul lagi. Maksud Abak adalah Taman Nasional Kerinci Seblat sebagai sarana konservasi.
Walaupun Abak tidak tahu nama tempat/kawasan konservasinya. Namun, aku tahu apa yang beliau maksudkan. Inginku bertanya banyak hal lagi. Tapi, Abak tidak bias melanjutkan. Beliau mau istirahat. Malam makin larut. Aku juga tak tega terus-terusan “menghajar” beliau dengan desakkan pertanyaan. Namun, sebelum Abak (yang belum sempat menamatkan Sekolah Rakyat (SR), sekolah yang setara dengan SD saat ini) kembali ke peraduan. Satu hal ingin kutahu dari beliau yaitu kenapa beliau bias tahu tentang hal-hal “konservasi” meskipun tanpa beliau sadari? Beliau memaparkan bahwa beliau bisa mengetahuinya karena beliau suka jalan (travelling/tour) ke daerah manapun bila ada kesempatan, baik kesempatan waktu maupun kesempatan uang—ongkosnya.
Mendapat jawaban seperti itu, terngiang kata yang pernah diucapkan oleh Rene Descrates dalam pendengaranku. Ia berujar “Cogito erga Sum” (aku berfikir, maka aku ada).
Aku mengucapkan terima kasih pada Abak. Walau bukan dalam ucapan, lewat sikap tak apalah. Abak berlalu menuju peraduannya. Akupun beranjak mengunjungi tempat peristirahatanku untuk malam ini- tidur.
Sebelum mataku terlelap, kesimpulan yang kuperoleh lewat “wawancara” bersama Abak tadi ialah:
Berusahalah Melestarikan Apa yang Sedang Kita Nikmati Hari Ini, Sebab Esok Masih ada Hari Yang Lain. Hari Dimana Anak-Cucu Kita Juga Berhak Untuk Mengenyamnya- Ya… Alam Ini. Jangan Sampai semua ini hanya menjadi mimpi pengantar tidur Buat generasi mendatang.
Once… Just A Dream 






Hffffff..... 
Saya membaca cerita ini dalam keheningan malam sambil mencoba menempatkan diri dalam situasi si penutur... Terbayangkan seorang cucu tengah bersama kakek kesayangannya, bercerita tentang hal yang remeh temeh, tapi terlihat makna kasih sayang antar keduanya tersampaikan dengan utuh dalam cerita. Saya seperti berada di suatu tempat, dengan kakek saya (kedua-duanya sudah tidak ada lagi sekarang) dan juga tengah berbagi cerita.....Memang kalau dilihat dari segi konservasinya, sepertinya agak sedikit terkalahkan oleh muatan "nyeni" dari ceritanya.. Nah, dari cara itulah saya dapat memahami sedikit hal konservasi yang disampaikan oleh sang penulis....

Anyway, terima kasih untuk Daniel yang sudah mengijinkan saya untuk memuat ceritanya ini di dalam blog ini... Walaupun blognya diisi sangat jarang-jarang-jarang-jarang sekali....

S-E-K-I-A-N..........